22 April 2008

Surat An-Nisaa ayat 59

juli 30, 2007

oleh: admin

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (an-Nisaa:59)

Al Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat di atas bahwasanya al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang firman Allah: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan Ulil Amri diantara kamu”. Ayat ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Hudzafah bin Qais bin ‘Adi, ketika diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di dalam satu pasukan khusus. Demikianlah yang dikeluarkan oleh seluruh jama’ah kecuali Ibnu Majah.

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengutus satu pasukan khusus dan mengangkat salah seorang Anshar menjadi komandan mereka. Tatkala mereka telah keluar, maka ia marah kepada mereka dalam suatu masalah, lalu ia berkata: “Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan kalian untuk mentaatiku?” Mereka menjawab: “Betul”. Dia berkata lagi: “Kumpulkanlah untukku kayu baker oleh kalian”. Kemudian ia meminta api, lalu ia membakarnya, dan ia berkata: “Aku berkeinginan keras agar kalian masuk ke dalamnya”. Maka seorang pemuda diantara mereka berkata: “Sebaiknya kalian lari menuju Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari api ini. Maka jangan terburu-buru (mengambil keputusan) sampai kalian bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Jika beliau perintahkan kalian untuk masuk ke dalamnya, maka masuklah”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun bersabda kepada mereka: ‘Seandainya kalian masuk ke dalam api itu niscaya kalian tidak akan keluar lagi selama-lamanya. Ketaatan itu hanya pada yang ma’ruf’. (Dikeluarkan dalam kitab ash-Shahihain dari hadits al-A’masy)

Abu Dawud meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Dengar dan taat adalah kewajiban seorang muslim, suka atau tidak suka, selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat”. (Dikeluarkan pula oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Yahya al-Qaththan)

Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata: “Kami dibai’at oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk mendengar dan taat diwaktu suka dan tidak sukanya kami dan diwaktu sulit dan mudahnya kami, serta diwaktu diri sendiri harus diutamakan dan agar kami tidak mencabut kekuasaan dari penguasa, beliau bersabda:‘Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki bukti jelas dari Allah’. (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berdabda: “Barangsiapa yang melihat pada pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya, maka bersabarlah. Karena tidak ada seseorang yang keluar dari jama’ah sejengkalpun, lalu ia mati, kecuali ia mati dalam keadaan jahiliyah”. (Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa hujjah. Dan barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada bai’at, niscaya ia mati dengan kematian jahiliyyah”. (Muslim)

Didalam hadits shahih yang telah disepakati pula, yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang taat kepadaku, maka berarti ia taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka ia berarti bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang mentaati amirku, maka ia berarti mentaatiku. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada amirku, maka ia bermaksiat kepadaku”.

Ibnu Katsir selanjutnya menjelaskan bahwa “ini semua adalah perintah untuk mentaati ulama dan umara. Untuk itu Allah berfirman: “Taatlah kepada Allah”, yaitu ikutilah Kitab-Nya. “Dan taatlah kepada Rasul”, yaitu peganglah sunnahnya. “Dan ulil amri di antara kamu”. Yaitu pada apa yang mereka perintahkan kepada kalian dalam rangka taat kepada Allah, bukan dalam maksiat kepada-Nya. Karena tidak berlaku ketaatan kepada mahluk dalam rangka maksiat kepada Allah”.

[Dikutip dari Kitab Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 hal. 343, cet. Pustaka Imam as-Syafi'i]

Entry Filed under: Tafsir Ibnu Katsir. .



Mengenai futur

8 02 2008

Umar ra. Pernah bercakap-cakap bersama Hudzaifah sebelum beliau ditikam oleh Abu Lu’lu Majusi, Hudzaifah bercerita, “Ketika kami duduk dekat Umar, ia berkata, “siapa di antara kalian yang menyimpan perkataan Rasulullah SAW tentang fitnah.” Hudzaifah berkata, “Fitnah seseorang dalam berkeluarga, hartanya, anak-anaknya dan tetangganya. Ia dapat dihapus dengan shalat, shodaqoh, amar1.jpg ma’ruf dan nahyul mungkar. Kemudian Umar ra. Berkata, ” Bukan itu yang aku tanyakan, akan tetapi fitnah yang menggelombang seperti gelombang laut.” Maka Hudzaifah berkata, ”Engkau tidak akan terkena olehnya wahai amirul mukminin. Sesungguhnya antaramu dan fitnah tersebut ada sebuah pintu yang tertutup.” Umar berkata, ”Apakah kelak pintu tersebut pecah atau terbuka?” Hudzaifah menjawab, ” Ia akan pecah.” Lantas Umar berkata lagi, ”Kalau demikian suda tidak mungkin tertutup lagi selamanya. ”Hudzaifah berkata, ”Benar.”

Berkata Syaqiq yang meriwayatkan dari Hudzaifah, ”Kami bertanya kepada Hudzaifah, ”Apakah Umar mengetahui siapa yang dimaksud ’pintu’ itu?” Hudzaifah menjawab, ”Ya, seperti ia mengetahui bahwa ada malam esok hari. Hal itu dikarenakan aku telah berbicara kepadanya tentang sebuah hadist tanpa keliru.” Kami ingin sekali mengetahui siapa pintu itu, kemudian kami perintahkan Masruq, dan bertanya kepada Hudzaifah, ”Siapakah pintu itu?” Hudzaifah menjawab, ”Umar.” (HR. Bukhori)

Setelah pembicaraan diatas, maka sudah sepatutnya kita berbicara tentang futurnya unsur-unsur yang bekerja menegakkan islam dengan penuh hati-hati serta pandangan yang jauh. Hal itu tidak lain demi kemashalatan mereka dan kemashalatan dakwah yang komit dengannya.

Simaklah lantunan doa Umar Ra memohon perlindungan dari kelemahan yang menimpa kaum muslimin :

”Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari paksaan orang fasik dan melemahnya rasa percaya.”

Pengertian Futur

Secara Etimologi arti futur adalah : diam setelah giat dan lemah setelah semangat. Ketika membahas kisah Zainab ra. Yang meletakkan seutas tali untuk dapat digunakan sebagai tempat bergantung jika datang masa futurnya. Ibnu Hajar mengungkapkan arti futur dalam kalimat tersebut adalah : Rasa malas untuk berdiri melaksanakan shalat. Menurut Ibnu Al-Atsir, pengertian futur dalam hal ini adalah semua keadaan diam, menyedikitnya porsi beribadah dan mengurangnya semangat.

Secara Terminologis futur adalah sebuah kendala yang menimpa para aktivis dakwah. Efek terburuknya berupa, ”inqitha” (terputusnya aktivitas) setelah istimrar (kontinu) dilaksanakan. Sedangkan efek minimalnya adalah timbulnya sikap acuh, berkembangnya rasa malas, berlambat-lambat dan santai, dimana sikap tersebut datang setelah sikap giat bergerak.

Fenomena futur sebenarnya masalah yang pasti hadir tanpa ada seorangpun yang dapat mengelak darinya. Sebagaimana tersirat dalam hadist Rasulullah SAW kepada Abdullah bin Amr bin Ash ra. :

”Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti fulan, sebelum ini ia rajin bangun pada malam hari (shalat tahajud), namun kemudian ia tinggalkan sama sekali.” (HR. Bukhari)

Rasulullah SAW pernah bersabda pada riwayat dari Abdullah bin Amr bin Ash ra :

”Setiap amal itu ada masa semangat dan ada masa lemahnya. Barangsiapa yang pada masa lemahnya ia tetap dalam sunnah (petunjuk) ku, maka dia telah beruntung. Namun barangsiapa yang beralih kepada selain itu, berarti ia telah celaka.” (Musnad Imam Ahmad)

Ibnu Qayyim berkata, ”Saat-saat futur bagi seseorang yang beramal adalah hal wajar yang harus terjadi. Seseorang masa futurnya lebih membawa ke arah muraqabah (pengawasan oleh Allah) dan pembenahan langkah, selama ia tidak keluar dari amal-amal fardhu dan tidak melaksanakan sesuatu yang diharamkan oleh Allah, diharapkan ketika pulih ia akan berada dalam kondisi yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Sekalipun sebenarnya, aktivitasn ibadahnya yang disukai Allah adalah yang dilakukan secara rutin oleh seorang hamba tanpa terputus.” (Madarij As-Salikin)

Fenomena Futur

  1. Kita sering mendapati seorang muslim yang berusaha memelihara diri dari kotoran najis, namun ia tidak memelihara diri dari kotoran ’ghibah’ dan dusta. Ada manusia yang banyak mengeluarkan sedekah, namun ia tidak peduli mempraktekkan transaksi riba.
  2. Memfokuskan perhatian pada forum perdebatan akal dalam memerangi syubhat yang dihembuskan oleh kaum ateis dan para sekularis, kemudian sangat mengandalkan suatu predikat ilmiah saja diatas sikap semangat dan ikut bergerak dalam blantika dakwah. Artinya kehebatan intelektual tanpa didukung dengan gerak, amal dan jihad.
  3. Berlebihan dan melewati batas dalam melakukan sesuatu yang mubah (dibolehkan). Firman Allah SWT : ”Hai anak Adam pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf : 31). Rasulullah SAW bersabda : ”Tidaklah seorang anak Adam mengisi suatu wadah yang buruk daripada perutnya.”
  4. Terpuruk dibawah penguasaan setan lewat celah keragu-raguan yang dihembuskan kepada seseorang kemudian mengakibatkan menjadi berlambat-lambat. Rasulullah bersabda : ”Tidaklah suatu kaum suka memperlambat sampai Allah menjadikannya lambat.” (HR. Turmudzi)
  5. Merasakan kekasaran dan kesesatan hati. Sampai keadaan dimana seseorang dapat merasakan bahwa dirinya telah turut menjadikan hatinya kesat disebabkan ruhaninya yang lemah. Jika keadaan tersebut terlalu lama, maka akan menjadi terbiasa dan tanpa disadari sampai hatinya mati. Matinya hati mengkibatkan punahnya pengaruh janji serta ancaman yang terdapat dalam ayat-ayat Al Qur’an. Hati menjadi tidak bergeming dengan nasihat dari kejadian realita yang dapat dijadikan ibrah.
  6. Perasaan segan untuk melaksanakan perbuatan baik dan beribadah. Orang yang menderita futur secara jelas akan bersikap menyepelekan nilai dan praktek ibadah.
  7. Tidak agresif dan pro-aktif dalam menjalani tugas-tugas yang diembankan kepada dirinya.

Tafsir Surahn An-Naba

SURAT AN-NABA

(Berita Besar)

Makkiyah, 40 ayat

Turun sesudah Surat Al-Ma’arij

JUZ 30

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

An-Naba, ayat 1 – 16

عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2) الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3) كَلا سَيَعْلَمُونَ (4) ثُمَّ كَلا سَيَعْلَمُونَ (5) أَلَمْ نَجْعَلِ الأرْضَ مِهَادًا (6) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (7) وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا ( 8) وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11) وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنزلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14) لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16)

Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan tentang ini. Sekali – kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, kemudian sekali – kali tidak; kelak mereka akan mengetahui. Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung – gunung sebagai pasak? Dan Kami jadikan kalian berpasang – pasangan, dan Kami jadikan tidur kalian untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan, dan Kami bangun di atas kalian tujuh buah (langit) yang kokoh, dan Kami jadikan pelita yang amat terang (matahari), dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah, supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji – bijian dan tumbuh – tumbuhan, dan kebun – kebun yang lebat?

Allah swt berfirman, mengingkari orang – orang musyrik karena mereka saling bertanya tentang hari kiamat dengan rasa tidak percaya akan kejadiannya.

عَمَّ يَتَسَاءَلُونَ (1) عَنِ النَّبَإِ الْعَظِيمِ (2)

Tentang apakah mereka saling bertanya? Tentang berita yang besar. (An-Naba : 1-2)

Yakni apakah yang dipertanyakan mereka? Tentang hari kiamat, yaitu berita yang besar, yakni berita yang amat besar, amat mengerikan, lagi amat mengejutkan. Qatadah dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa yang dimaksud dengan berita besar ini ialah kebangkitan sesudah mati. Mujahid mengatakannya Al-Qur’an, tetapi yang jelas adalah pendapat yang pertama, karena dalam firman berikutnya disebutkan :

الَّذِي هُمْ فِيهِ مُخْتَلِفُونَ (3)

yang mereka perselisihkan tentang ini. (An-Naba : 3)

Manusia dalam hal ini ada dua macam, ada yang beriman kepadanya dan ada yang kafir. Kemudian Allah swt dalam firman berikutnya mengancam orang – orang yang ingkar dengan adanya hari kiamat.

كَلا سَيَعْلَمُونَ (4) ) ثُمَّ كَلا سَيَعْلَمُونَ (5)

Sekali – kali tidak; kelak mereka akan mengetahui, kemudian sekali – kali tidak; kelak mereka akan mengetahui. (An-Naba : 4-5).

Ini merupakan peringatan yang tegas dan ancaman yang keras. Kemudian Allah menjelaskan tentang kekuasaan-Nya yang besar melalui ciptaan-Nya terhadap segala sesuatu yang besar lagi menakjubkan, yang semuanya itu menunjukkan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu yang dikehendaki-Nya, termasuk masalah hari berbangkit dan lain – lainnya. Untuk itu Allah swt berfirman :

أَلَمْ نَجْعَلِ الأرْضَ مِهَادًا (6)

Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? (An-Naba : 6)

Maksudnya, telah dihamparkan-Nya dan dijadikan-Nya layak untuk dihuni oleh makhluk-Nya, lagi tetap, tenang, dan kokoh.

وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (7)

Dan gunung – gunung sebagai pasak? (An-Naba : 7)

Dia menjadikan pada bumi pasak – pasak untuk menstabilkan dan mengokohkannya serta memantapkannya sehingga bumi menjadi tenang dan tidak mengguncangkan orang – orang dan makhluk yang ada di atasnya.

Kemudian Allah swt berfirman :

وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا ( 8)

Dan Kami jadikan kaliang berpasang – pasangan. (An-Naba : 8)

Yaitu dari jenis laki – laki dan perempuan, masing – masing dapat bersenang – senang dengan lawan jenisnya, dan karenanya maka dapat berkembanglah keturunan mereka. Seperti yang disebutkan dalam ayam lain melalui firman Allah swt :

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً

Dan di antara tanda – tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri – istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. (Ar-Rum : 21)

Adapun firman Allah swt :

وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9)

Dan kami Jadikan tidur kalian untuk istirahat. (An-Naba : 9)

Yakni istirahat dari gerak agar tubuh kalian menjadi segar kembali setelah banyak melakukan aktivitas dalam rangka mencari upaya penghidupan di sepanjang hari. Hal seperti ini telah diterangkan di dalam tafsir surat Al-Furqan.

وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10)

Dan kami jadikan malam sebagai pakaian. (An-Naba : 10)

Yang menutupi semua manusia dengan kegelapannya, seperti disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya :

وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا

dan malam apabila menutupinya. (Asy-Syams : 4)

Dan ucapan seorang penyair yang mengatakan dalam salah satu bait syairnya, “Dan manakala malam mulai menggelarkan kain penutupnya, maka seluruh semesta menjadi gelap.”

Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya :

وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10)

Dan kami jadikan malam sebagai pakaian. (An-Naba : 10)

Maksudnya, ketenangan.

وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11)

Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan. (An-Naba : 11)

Kami menjadikannya terang benderang agar manusia dapat melakukan aktivitasnya untuk mencari upaya penghidupan dengan bekerja, berniaga, dan melakukan urusan lainnya.

Firman Allah swt :

وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12)

Dan Kami bangun di atas kalian tujuh buah (langit) yang kokoh. (An-Naba : 12)

Yaitu tujuh lapis langit dengan segala keluasannya, ketinggiannya, kekokohannya, dan kerapihannya serta hiasannya yang dipenuhi dengan bintang – bintang, baik yang tetap maupun yang beredar. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan :

وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13)

Dan Kami jadikan pelita yang amat terang. (An-Naba : 13)

Yakni matahari yang menerangi semesta alam, yang cahayanya menerangi seluruh penduduk bumi.

Firman Allah swt :

وَأَنزلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14)

Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah. (An-Naba : 14)

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan al-mu’sirat ialah angin. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id, telah menceritakan kepada kami Abu Daud Al-Hafari, dari Sufyan, dari Al-A’masy, dari Al-Minhal, dari Said ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya :

وَأَنزلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ

Dan Kami turunkan dari awan (An-Naba : 14)

Bahwa makna yang dimaksud ialah dari angin. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, Qatadah, Muqatil, Al-Kalabi, Zaib ibnu Aslam, dan putranya (yaitu Abdur Rahmah), semuanya mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dengan mu’sirat ialah angin. Dikatakan demikian karena anginlah yang meniup awan yang mengandung air, hingga awan itu menurunkan kandungan airnya dan terjadilah hujan. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya, “Al-Mu’sirat,” bahwa makna yang dimaksud ialah awan yang mengandung air hujan. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Abul Aliyah, Ad-Dahhak, Al-Hasan, Ar-Rabi’ ibnu Anas, dan As-Sauri, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir. Al-Farra mengatakan bahwa mu’sirat ialah awan yang mengandung air dan masih belum diturunkan, sebagaimana yang dikatakan terhadap seorang wanita yang mu’sir artinya ‘bilamana masa haidnya tiba, sedangkan sebelum itu tidak pernah haid’.

Diriwayatkan pula dari Al-Hasan dan Qatadah, bahwa minal mu’sirat artinya dari langit, tetapi pendapat ini garib. Dan yang jelas adalah pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan mu’sirat ialah awan yang mengandung air, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya :

اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَاباً فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاء كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفاً فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ

Allah, Dialah yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkkan awan dan Allah membentangkannya dilangit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal ; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah – celahnya.(Ar-Rum : 48).

Adapun firman Allah swt :

مَاءً ثَجَّاجًا (14)

Air yang banyak tercurah. (An-Naba : 14)

Mujahid, Qatadah, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas mengatakan bahwa sajjaajan artinya tercurah. As-Sauri mengatakan berturut – turut, Ibnu Zaid mengatakan artinya banyak. Ibnu Jarir mengatakan bahwa tidak diketahui dalam pembicaraan orang Arab untuk menggambarkan hal yang banyak memakai kata as-sajj, melainkan menunjukkan pengertian curahan yang berturut – turut. Termasuk ke dalam pengertian ini sabda Nabi saw yang mengatakan :

أفضلُ الحجّ العجّ والثجّ

Haji yang paling afdal ialah yang banyak debunya dan banyak mengalirkan darah kurban.

Yakni mengalirkan darah hewan kurban. Menurut hemat saya, demikian pula dalam hadis wanita yang mustahadah (keputihan) saat Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Aku anjurkan kamu memakai penyumbat dari katun.” Maka wanita itu menjawab, “Wahai Rasulullah, darah itu lebih banyak daripada yang engkau perkirakan, sesungguhnya ia mengalir dengan sederas – derasnya.” Hal ini menunjukkan adanya penggunaan kata as-sajj untuk menunjukkan pengertian curahan yang berturut – turut lagi banyak; hanya Allah jualah Yang Maha Mengetahui.

Firman Allah swt :

لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16) }

Supaya Kami tumbuhkan dengan air itu biji – bijian dan tumbuh – tumbuhan, dan kebun – kebun yang lebat? (An-Naba : 15 -16)

Yaitu agar melalui air yang banyak, baik, bermanfaat, lagi mengandung berkah ini Kami tumbuhkan biji – bijian untuk manusia dan hewan, dan Kami tumbuhkan pula sayur – sayuran yang dapat dimakan secara mentah, Kami tumbuhkan pula taman – taman dari kebun – kebun yang menghasilkan berbagai macam buah – buahan yang beraneka ragam rasa dan baunya, yang adakalanya kesemuanya itu dapat dijumpai dalam satu kawasan tanah. Karena itulah maka disebutkan alfafan, yang menurut Ibnu Abbas dan lain – lainnya artinya lebat. Hal ini berarti sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya :

وَفِي الأَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجَاوِرَاتٌ وَجَنَّاتٌ مِّنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ يُسْقَى بِمَاء وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي الأُكُلِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

Dan di bumi ini terdapat bagian – bagian yang berdampingan, dan kebun – kebun anggur, tanam – tanaman dan pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (Ar-Ra’d : 4)

TAFSIR SURAH aL-HUJURAT 49 AYAT 6

Oleh Drs. Hafidz Abdurrahman, MA

بسم الله الرحمن الرحيم

]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ[

Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik dengan membawa berita, maka telitilah berita itu agar kalian tidak memberikan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahun sehingga kalian akan menyesali diri atas apa yang telah kalian kerjakan.

(QS al-Hujurat [49]: 6)


Tafsir Ayat:

Ayat ini, menurut laporan Ibn ‘Abbâs, diturunkan berkaitan dengan kasus al-Walîd bin ‘Uqbah bin Abî Mu’yth, yang menjadi utusan Rasul saw. untuk memungut zakat dari Bani Musthaliq. Ketika Bani Musthaliq mendengar kedatangan utusan Rasul ini, mereka menyambutnya secara berduyun-duyun dengan sukacita. Mendengar hal itu, al-Walîd, menduga bahwa mereka akan menyerangnya, mengingat pada zaman Jahiliah mereka saling bermusuhan. Di tengah perjalanan, al-Walîd kemudian kembali dan melapor kepada Nabi, bahwa Bani Musthaliq tidak bersedia membayar zakat, malah akan menyerangnya. Rasul saw. marah, dan siap mengirim pasukan kepada Bani Musthaliq. Tiba-tiba, datanglah utusan mereka seraya menjelaskan duduk persoalan yang sesungguhnya. Lalu, Allah menurunkan surat al-Hujurat (49) ayat 6 ini.[1]

Konteks turunnya ayat ini memang terkait dengan kasus al-Walîd, tetapi berdasarkan kaidah: Al-‘ibrah bi’umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (makna ayat ditentukan berdasarkan keumuman ungkapan, bukan berdasarkan spesifikasi sebab), maka ayat ini berlaku untuk umum. Berdasarkan ayat inilah, para ulama hadis kemudian membuat kaidah periwayatan hadis sehingga menjadi karakteristik khas ajaran Islam. Tidak hanya itu, secara praktis, ayat ini juga menjadi kaidah berpikir para politikus untuk mengambil keputusan sehingga pantas jika Rasul saw. menyatakan:

»اَلتَّبَيُّنُ مِنَ اللهِ وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ«

Pembuktian itu berasal dari Allah, sedangkan ketergesa-gesaan itu berasal dari setan. (Dikeluarkan at-Thabari). [2]

Ayat ini dinyatakan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman agar mereka berhati-hati ketika ada orang fasik membawa berita kepadanya; agar mereka memeriksanya dan tidak menelannya mentah-mentah (Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû in jâ’akum fâsiqun binaba’in fatabayyanû). Dalam konteks ayat ini, Allah menggunakan jumlah syarthiyyah (kalimat bersyarat), in jâ’akum (jika [orang fasik] membawa kepadamu), dengan fâ’il (subyek) yang berbentuk sifat, fâsiqun (orang fasik). Berdasarkan konteks tersebut, dapat diambil mafhûm mukhâlafah (konotasi terbalik) sehingga para ulama membolehkan diambilnya hadis ahâd yang disampaikan oleh orang yang adil dan tidak fasik.[3] Hal yang sama juga berlaku untuk pengetahuan yang disampaikan oleh seorang guru yang adil.

Fâsiq (fasik) sendiri mempunyai konotasi al-khurûj min at-thâ‘ah (keluar dari ketaatan). Menurut as-Syawkâni, ada yang menyatakan, bahwa fasik dalam konteks ayat ini adalah dusta atau bohong.[4] Sementara itu, menurut istilah para ahli fikih, fasik adalah orang yang melakukan dosa besar dengan sengaja atau terus-menerus melakukan dosa kecil.[5]

Penggunaan kata naba’ (berita) dalam ayat ini mempunyai konotasi, bahwa berita tersebut adalah berita penting, bukan sekadar berita. Menurut ar-Râghib al-Ashfahâni, berita pada dasarnya tidak disebut naba’ sampai mempunyai faedah besar, yang bisa menghasilkan keyakinan atau ghalabah azh-zhann (dugaan kuat). [6] Di sisi lain, kata naba’ tersebut merupakan bentuk nakirah (umum), yang berarti meliputi semua jenis dan bentuk berita; baik ekonomi, politik, pemerintahan, sosial, pendidikan dan sebagainya. Karena itu, dapat disimpulkan, jika ada orang fasik membawa berita penting, apapun jenis dan bentuknya, yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan, maka berita tersebut harus diperiksa. Sedangkan kata tabayyanû, berarti at-ta‘arruf wa tafahhush (mengindentifikasi dan memeriksa) atau mencermati sesuatu yang terjadi dan berita yang disampaikan. [7]

An tushîbû qawman bi jahâlatin (supaya kalian tidak menjatuhkan keputusan kepada suatu kaum tanpa pengetahuan). Bi jahâlatin (dalam kondisi kalian tidak mengetahui) adalah keterangan hâl (keadaan yang menjelaskan perbuatan subyek). Menurut as-Shâbûni, konteks bi jahâlatin tersebut sama artinya dengan wa antum jâhilun (sementara kalian tidak mengetahui);[8] sebuah keterangan yang menjelaskan keadaan subyek ketika membuat keputusan atau kesimpulan. Keadaan ini umumnya terjadi karena informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan atau kesimpulan tersebut tidak dicek terlebih dulu. Tindakan yang sama juga dilarang oleh Allah dalam ayat lain:

]وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً[

Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya. (QS al-Isrâ’ [17]: 36).

Fatushbihû ‘alâ mâ fa‘altum nâdimîn (sehingga kalian menyesali apa yang telah kalian lakukan). Penyesalan tersebut terjadi tentu karena keputusan yang dijatuhkan sebelumnya ternyata salah, tidak akurat, dan merugikan orang lain; termasuk pengambil keputusan.

Wacana Tafsir: Cara Menerima Berita

Untuk menerima berita, pengetahuan akan sumber berita merupakan sesuatu yang urgen. Islam, melalui surat al-Hujurât (49) ayat 6 ini, mengajarkan bahwa sumber berita tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori: (1) ‘âdil (Muslim dan tidak fasik); (2) fâsiq (tidak adil). Jika sumber berita tersebut orang yang adil, yaitu orang Islam yang tidak melakukan dosa kecil atau dosa besar dengan sengaja, maka beritanya dapat diterima. Sekalipun demikian, kondisi kefasikan tersebut dapat saja terjadi pada orang Islam yang asalnya adil sehingga al-Qurthûbi tetap mensyaratkan agar pihak pengambil keputusan (al-hâkim), baik penguasa maupun bukan, tetap harus melakukan pengecekan terhadap berita yang diterimanya, sekalipun dari orang Islam.[9] Ini seperti yang terjadi dalam kasus al-Walîd di atas. Al-Walîd adalah utusan Nabi saw., yang tentu merupakan orang pilihan. Akan tetapi, akibat kesalahpahamannya terhadap sambutan Bani Musthaliq, ia bisa melakukan kesalahan, yang barangkali tidak sengaja ia lakukan.

Berbeda jika sumber berita tersebut orang fasik, maka Islam sangat tegas memerintahkan agar beritanya dicek sehingga kita tidak terjebak dalam pengambilan keputusan berdasarkan kebodohan yang akhirnya berujung pada penyesalan. Jika berita orang Islam yang fasik saja perlu dicek, maka bagaimana dengan berita yang disampaikan orang kafir? Tentu lebih perlu lagi. Misalnya, berita yang disampaikan CIA, bahwa Omar al-Farouq telah mengaku mempunyai rencana untuk membunuh Megawati. Menurut berita yang sama, al-Farouq juga diberitakan sebagai anggota jaringan al-Qaedah. Indonesia juga diberitakan sebagai salah satu tempat berkembangnya jaringan al-Qaedah. Berita-berita tersebut semuanya bersumber dari orang kafir, atau orang Islam yang bekerjasama dengan orang kafir, alias orang fasik. Karena itu, berita tersebut harus diperiksa kebenarannya. Dalam kasus seperti ini ada contoh menarik; Rasul langsung mengirim Khâlid bin al-Walîd untuk memeriksa keadaan Bani Musthaliq mengenai benar dan tidaknya informasi pembangkangan mereka sebagaimana yang dituturkan al-Walîd di atas.[10] Sebagaimana Rasul tidak mengecek kepada al-Walîd, maka para pengambil keputusan di negeri ini, juga tidak seharusnya melakukan klarifikasi kepada CIA, mengenai benar dan tidaknya informasi tersebut. Lebih dari itu, karena merupakan manuver politik negara kafir, maka informasi tersebut tidak bisa dilihat semata-mata sebagai informasi, tetapi harus dilihat sebagai manuver politik dengan tujuan dan target tertentu yang hendak diraih oleh negara kafir, seperti Amerika dan lain-lain.

Ini, misalnya, tampak ketika pemerintahan Bush Jr. menyatakan, bahwa al-Qaedah yang dipimpin Usamah bin Laden merupakan aktor pengeboman Peristiwa 11 September 2001. Informasi ini sesungguhnya bukanlah informasi biasa, melainkan manuver politik. Akan tetapi, sayang, karena ketidakmampuan penguasa Taliban membaca informasi yang sesungguhnya merupakan manuver politik Amerika ini, mereka tidak menyiapkan langkah-langkah real untuk menghadapinya. Akibatnya, seperti yang bisa disaksikan, manuver Amerika ini berjalan dengan gemilang dan hasilnya sangat fantastis. Taliban berhasil dijatuhkan dengan sangat singkat, digantikan dengan kaki tangannya yang loyal, Hamid Karzai; sistem imarah yang dibangun Taliban berhasil diruntuhkan, digantikan dengan demokrasi ala Amerika; kemudian rancangan politik Amerika berhasil ditancapkan melalui kaki tangan dan seluruh kinerjanya. Pada saat yang sama, monopoli Amerika atas wilayah tersebut berhasil diwujudkan dengan berdirinya pangkalan militer di Qirzistan dan Pakistan. Dengan demikian, Amerika telah berhasil mengukuhkan kedudukannya sebagai penguasa tunggal dunia setelah menguasai jantung dunia, Afganistan dan Asia Tengah.

Karena itu, untuk merealisasikan manuver politiknya, negara-negara kafir seperti Amerika dan Inggris, akan selalu menyebarkan informasi atau berita bohong untuk menutupi niat jahatnya. Namun, jika umat Islam sadar, bahwa negara-negara kafir itu adalah musuh, dan hubungan antara negeri-negeri kaum Muslim dengan mereka adalah hubungan permusuhan, bukan persahabatan—sebagaimana yang mereka pertontonkan terhadap Islam, umat, dan negeri-negeri mereka—maka seharusnya umat Islam berpegang teguh pada sabda Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh Abu Harayrah, sebagai berikut:

»اَلْحَرْبُ خِدْعَةٌ«

Peperangan itu merupakan tipudaya. (HR Muslim).

Karena itu, mereka tidak seharusnya menelan mentah-mentah informasi yang datang dari musuh mereka. Karena itu pula, seperti yang dikatakan Ibn Hajar al-Asqalâni, perang yang baik bagi pelakunya dengan niat dan tujuannya yang sempurna adalah Perang Tipudaya, bukan berhadap-hadapan secara langsung.[11] Inilah yang dimainkan Amerika, Inggris, dan negara-negara kafir lainnya, karena mereka tidak sanggup berperang berhadap-hadapan secara langsung dengan umat Islam yang haus surga dan merindukan mati syahid. Kesadaran yang sama seharusnya dimiliki oleh umat Islam supaya mereka juga bisa memenangkan pertarungan ini.

Akan tetapi, sayangnya, umat Islam saat ini dipimpin oleh orang-orang yang lebih loyal kepada musuhnya ketimbang kepada mereka. Akibatnya, ketika Amerika menabuh gendang Perang Melawan Terorisme, yang target dan tujuannya jelas untuk memerangi Islam dan umatnya, para penguasa itu justru menari mengikuti irama gendang yang ditabuh Amerika; bak kata penyair:

إذَا كاَنَ رَبُّ الْبَيْتِ بِالدُّفِّ ضَارِبًا

فَسِيْمَاتُهُ أَهْلُ الْبَيْتِ كُلُّهُمُ الرَّقْسُ

Jika tuan rumah memukul gendang,

seluruh penghuninya tampak menari.

Wacana Tafsir: Tabayyun Berita melalui Kondisi yang Meliputinya

Ketika berita tidak dapat dipahami hanya dengan membaca makna kata (madlûl), misalnya Perang Melawan Terorisme, yang berarti peperangan melawan individu atau kelompok yang mengancam keselamatan umum dengan tujuan atau motif politik tertentu—padahal peperangan tersebut dimaksud sebagai peperangan melawan Islam dan umatnya—dengan tujuan untuk mengukuhkan hegemoni pelakunya atas dunia, maka berita tersebut harus di-tabayyun dengan cara mengaitkannya dengan situasi dan kondisi (zhurûf)-nya. Penggulingan Taliban dan pelantikan Hamid Karzai dengan pemerintahan barunya atas nama Perang Melawan Terorisme adalah salah satu kondisi; pendirian pangkalan militer di Qirzistan dan Pakistan atas nama Perang Melawan Terorisme adalah kondisi lain; penyusunan UU Antiteroris di beberapa negara, seperti Pakistan dan Indonesia, serta ditandatanganinya perjanjian regional atas nama Perang Melawan Terorisme adalah kondisi lain; kerjasama intelijen dan penangkapan tokoh-tokoh Islam atas nama Perang Melawan Terorisme juga merupakan kondisi lain; upaya penggulingan Saddam yang pro-Inggris untuk digantikan dengan kaki tangan Amerika atas nama Perang Melawan Terorisme adalah kondisi lain. Semua itu merupakan kondisi yang secara telanjang menjadi indikator, bahwa istilah Perang Melawan Terorisme tidak dapat ditangkap hanya dengan memahami makna katanya, melainkan harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi yang menyertainya. Dari sanalah, baru dapat disimpulkan bahwa Perang Melawan Terorisme tersebut sesungguhnya merupakan peperangan untuk melawan musuh politis dan ideologis Amerika dengan tujuan mengukuhkan hegemoninya atas dunia.

Berita mengenai Indonesia, bahwa Indonesia merupakan Sarang Teroris, juga tidak dapat ditafsirkan secara terpisah dari berbagai kondisi, seperti penangkapan WNI yang membawa bom di Filipina, 3 WNI yang ditangkap di Singapura dengan tuduhan sebagai anggota Jamaah Islamiyah, penangkapan Omar al-Farouq di Indonesia, penangkapan 3 WNI di Filipina dengan tuduhan terlibat pengeboman, pengeboman mes Kedubes Amerika, pengeboman mal Cijantung, latihan ketentaraan di salah satu pulau di Jawa Timur, dan lain-lain. Dengan adanya semua kondisi di atas, berita Indonesia merupakan Sarang Teroris tersebut kemudian mempunyai impresi yang kuat di benak orang yang mendengarnya, dan berita tersebut akhirnya dianggap benar adanya. Hanya tetap harus diperhatikan, bahwa impresi tersebut tidak boleh dipisahkan dengan situasi dan kondisi politik di atas, juga kondisi historis bangsa Indonesia. Dilihat dari situasi dan kondisi politik di atas, jelas bahwa berita Indonesia merupakan Sarang Teroris itu bertujuan untuk mengukuhkan kembali cengkeraman Amerika di negeri ini setelah sebelumnya pudar pasca dijatuhkannya Soeharto. Pertanyaannya kemudian, mengapa untuk merealisasikan itu berbagai rekayasa di atas harus dilakukan? Alasannya, secara historis, bangsa Indonesia tidak mudah ditundukkan oleh Amerika, kecuali melalui berbagai kerusuhan, pemberontakan, dan rekayasa di dalam negeri sehingga bangsa ini terpaksa menerima uluran tangan Amerika. Setelah itu, barulah mereka tunduk di tangan Amerika. Realitas ini ditunjukkan oleh bangsa ini pasca Perang Kemerdekaan hingga dekade 1950-an; Amerikalah yang memprovokasi Perang Permesta, PRRI, termasuk DII/TII, dan terakhir pemberontakan G 30 S PKI, sampai akhirnya negeri ini berhasil dicengkeram oleh Amerika melalui militer. Karena itu, kerjasama militer Indonesia dengan Amerika yang dimulai September 2002 juga tidak dapat dipisahkan dari skenario di atas. Kasus lain adalah Sudan, yang akhirnya tunduk di bawah ketiak Amerika, setelah sebelumnya didera dengan tuduhan Teroris, hingga pengeboman gudang farmasi yang diklaim Amerika sebagai pabrik pembuatan senjata pembunuh massal, dan sebagainya, termasuk naiknya Jenderal Omar Bashir setelah digulingkannya Hassan at-Turabi, padahal dia telah memenuhi keinginan Amerika, termasuk melakukan penangkapan terhadap aktivis Muslim untuk dijebloskan dalam penjara.

Akankah negeri ini mengalami sejarah yang sama, dijajah kembali, yang berarti keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa? Tentu semuanya kembali pada kearifan, kecerdasan, dan kesadaran politik umat dan bangsa ini. Wallâhu a‘lam. []


[1] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayy al-Qu’ân, Dâr al-Fikr, Beirut, 1405, juz XXVI, hlm. 123-124.

[2] Ath-Thabari, Ibid, hlm. 124; Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Syarikah an-Nûr, Asia, juz IV, hlm. 210.

[3] Al-Qurthûbi, al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, Dâr , juz XVI, hlm. 312.

[4] As-Syawkâni, Fath al-Qadîr, Dâr al-Fikr, Beirut, juz V, hlm. 60.

[5] Rawwâs Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqahâ’, Dâr an-Nafâis, Beirut, cet. I, 1996, hlm. 307 dan 315.

[6] Lihat, As-Shâbûni, Shafwat at-Tafâsîr, Dâr as-Shâbûni, Kairo, cet. IX, juz III, hlm. 231.

[7] Asy-Syawkâni, Ibid, hlm. 60.

[8] Asy-Shâbûni, Ibid, hlm. 233.

[9] Al-Qurthûbi, Ibid, juz XVI, hlm. 311.

[10] At-Thabari, Ibid, juz XXVI, hlm. 124.

[11] Al-Asqalâni, Fath al-Bâri, Dâr al-Ma’rifah, Beirut, 1376, juz VI, hlm. 158.

08 April 2008

(Tafsir QS al-Baqarah [2]: 30)




وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Wa idz qâla Rabbuka li al-malâikah (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat). Huruf idz merupakan zharf az-zamân (kata keterangan) untuk menunjukkan waktu lampau.[1] Dalam konteks kalimat ini, huruf tersebut menyimpan kata udzkur (ingatlah). Khithâb-nya ditujukan kepada Rasulullah saw. Ini terlihat pada dhamîr mukhâthab ka pada kata Rabbuka yang menunjuk kepada beliau. Karena itu, Ibnu Katsir, al-Wahidi dan beberapa mufassir lain memaknainya: Ingatlah, wahai Muhammad, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat.[2] Seruan kepada Rasulullah saw. berarti juga seruan kepada umatnya.

Perkara yang diperintahkan untuk diingat adalah kisah awal kejadian manusia. Sebelum menciptakan manusia, Allah Swt. terlebih dulu memberitakannya kepada para malaikat. Kata al-malâikah merupakan bentuk jamak dari kata al-malak.

Kepada para malaikat itu Allah Swt. berfirman: Innî jâ’il[un] fî al-ardhi khalîfah (Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi). Kata jâ’il[un] bermakna khâliq[un].[3] Adapun al-ardh adalah seluruh bumi yang kini ditempati manusia. Di situlah Allah Swt. akan menjadikan khalîfah.

Kata khalîfah berasal dari kata khalîf (wazan fa‘îl). Tambahan huruf al-hâ’ berfungsi li al-mubâlaghah (untuk melebihkan).[4] Kata khalîfah berarti suatu pihak yang menggantikan lainnya, menempati kedudukannya, dan mewakili urusannya. Secara bahasa, seluruh mufassirin sepakat, yang dimaksud dengan khalîfah di sini adalah Adam as.[5] Namun, di antara mereka terdapat beberapa pendapat: khalîfah bagi siapakah Adam itu?

Pertama: khalîfah bagi jin atau banû al-jân.[6] Alasannya, sebelum manusia diciptakan, penghuni bumi adalah banû al-jân. Namun, karena mereka banyak berbuat kerusakan, Allah Swt. kemudian mengutus para malaikat untuk mengusir dan menyingkirkan mereka. Setelah mereka berhasil disingkirkan sampai di pesisir dan gunung, Adam as. diciptakan untuk menggantikan kedudukan dan posisi mereka.

Kedua: khalîfah bagi malaikat. Demikian pendapat asy-Syaukani, an-Nasafi, dan al-Wahidi.[7] Sebab, setelah berhasil menyingkirkan banû al-jân, malaikatlah yang tinggal di bumi. Karena itu, yang digantikan Adam as adalah malaikat, bukan jin atau banû al-jân.

Ketiga: disebut khalîfah karena mereka menjadi kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian lainnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Katsir.[8] Pendapat ini didasarkan pada QS al-An‘am: 165, an-Naml: 62, az-Zukhruf: 6, dan Maryam 59.[9]

Keempat: menjadi khalîfah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Ajili, Ibnu Juzyi, dan asy-Syanqithi.[10] Status ini bukan hanya disandang Adam as., namun juga seluruh nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia.[11] Menurut al-Qasimi, kesimpulan ini didasarkan pada QS Shad: 26.

Di antara keempat penafsiran itu, penafsiran keempat tampaknya lebih dapat diterima. Penafsiran ketiga, meskipun tak bertentangan dengan fakta kehidupan, respon malaikat menunjukkan, kedudukan khalifah tak sekadar itu. Menurut para malaikat, khalifah di muka bumi itu haruslah ahl al-thâ‘ah, bukan ahl al-ma‘shiyyah. Jika kedudukan sebagai khalifah hanya merupakan siklus kehidupan, generasi digantikan dengan generasi berikutnya, tentu tak mengharuskan khalifah dari kalangan ahl al-thâ‘ah.

Alasan yang sama juga dapat digunakan untuk menolak penafsiran pertama dan kedua jika peristiwa itu benar-benar terjadi. Sebagai catatan, penafsiran pertama dan kedua didasarkan pada hadis mawqûf yang tidak dapat menghasilkan keyakinan. Dalam frasa berikutnya disebutkan: Qâlû ataj’alû fîhâ man yufsidu fîhâ wa yafsiku dimâ’ (Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.”).

Kata fasâd berarti kerusakan. Kerusakan di bumi itu adalah kekufuran dan segala tindakan maksiat.[12] Adapun yang dimaksud dengan menumpahkan darah adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan syariah. Sebenarnya, pembunuhan secara zalim itu termasuk dalam cakupan fasâd atau kerusakan. Disebutkannya secara khusus setelah ungkapan umum (athf al-khâsh ’alâ al-’âmm) itu menunjukkan besarnya maksiat dan kerusakan yang ditimbulkan akibat pembunuhan.

Dari manakah para malaikat mengetahui sifat-sifat buruk manusia itu, padahal manusia belum diciptakan? Pengetahuan itu berasal dari: pemberitahuan Allah Swt.; bisa pula dari al-lawh al-mahfûzh; berdasarkan analogi terhadap sifat banû al-jân yang sebelumnya menghuni bumi;[13] bisa juga dari pemahaman mereka terhadap tabiat basyariyyah, yang sebagiannya telah diceritakan Allah Swt.—bahwa mereka diciptakan dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS al-Hijr: 26); atau dari pemahaman mereka dari kedudukan khalifah yang bertugas menyelesaikan kezaliman yang terjadi di antara manusia dan mencegah manusia dari perkara haram dan dosa.[14]

Selanjutnya mereka juga berkata: wa nahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisu laka (padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?). Ber-tasbîh kepada Allah Swt. berarti mensucikan-Nya dan menjauhkan-Nya dari segala sesuatu yang buruk dalam kerangka ta‘zhîm.[15] Adapun men-taqdîs-kan Allah Swt. bermakna mensucikan-Nya dan menjauhkan segala sesuatu yang tidak pantas dari-Nya.[16]

Patut dicatat, para mufassir sepakat bahwa pertanyaan para malaikat itu bukan dimaksudkan untuk membantah kehendak Allah Swt. atau dilandasi sikap hasud terhadap Adam as. Sebab, mereka adalah hamba Allah yang mulia, taat, dan tidak pernah membangkang perintah-Nya (QS at-Tahrim: 6; al-Anbiya’: 26-27). Perkataan mereka semata-mata bertujuan untuk meminta kejelasan atau untuk mengungkap hikmah tersembunyi di balik penciptaan itu.[17]

Allah Swt. menjawab pertanyaan malaikat itu: Innî a’lamu mâ lâ ta’lamûn (Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui). Artinya, Allah lebih mengetahui kemaslahatan yang râjih pada penciptaan itu. Sesungguhnya Dia akan mengutus para rasul di tengah-tengah manusia. Di antara mereka juga ada orang-orang yang membenarkan (ash-shiddiqûn), syahid, shalih, ahli ibadah, zuhud, wali, berbuat kebajikan, al-muqarrabûn, ulama al-‘âmilûn, khusyuk, mencintai Allah, dan mengikuti rasul-rasul-Nya.[18]

Kewajiban Menegakkan Khilafah

Sebagaimana telah terungkap, kedudukan sebagai khalîfah mewajibkan manusia untuk memutuskan dan menerapkan perkara-perkara kehidupan dengan hukum-hukum Allah Swt.

Untuk keperluan itu, Allah telah mengutus para nabi dan rasul. Mereka semua diutus untuk menyampaikan kepada manusia risalah-Nya yang juga berisi hukum-hukum yang wajib diterapkan. Kendati dalam perkara akidah semua nabi dan rasul itu sama, yakni akidah tauhid, dalam perkara hukum mereka diberikan syir’ah dan minhâj yang berbeda-beda (QS al-Maidah [5]: 48). Masing-masing nabi dan rasul beserta umatnya wajib terikat dengan hukum yang berlaku buat mereka. Tatkala mereka menerapkan dan memutuskan hukum berdasarkan syariah-Nya, maka mereka telah melaksanakan tugasnya sebagai khalîfah.

Kepada Nabi Muhammad saw., Allah telah memberikan dîn Islam. Sebagai dîn paripurna, Islam memiliki syariah yang syâmil kâmil (komprehensif lagi sempurna) (lihat QS an-Nahl [16]: 86 dan al-Maidah [5]: 3). Tidak ada satu pun aspek kehidupan yang dibiarkan lepas begitu saja, tanpa diatur oleh Islam. Seluruh interaksi manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya sendiri, maupun antar sesama manusia diatur oleh Islam.

Seluruh hukum Islam wajib diterapkan (QS al-Maidah: 49, al-Hasyr: 7). Hanya saja, di antara hukum-hukum syariah itu: Pertama, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada individu seperti akidah, ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak. Beberapa hukum mu’âmalah pelaksanaannya juga dapat dilaksanakan individu tanpa harus melibatkan negara seperti perdagangan, ijârah, pernikahan, warisan, dan sebagainya). Kedua, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada negara semisal sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik luar negeri; juga berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan sanksi yang diberikan atas setiap bentuk pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti tidak boleh dilakukan oleh individu. Semua hukum harus dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang olehnya.

Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang bersifat dharûrî (sangat penting) untuk melaksanakan Islam. Tanpa ada sebuah negara, mustahil syariah bisa diberlakukan secara total.

Patut ditegaskan, negara yang ditetapkan Islam untuk menerapkan syariah adalah Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Rasulullah saw. bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

Di tengah-tengah kalian terdapat masa kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa Khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah. (HR Ahmad).

Rasulullah saw. juga menetapkan, para khalifah adalah satu-satunya pihak yang bertugas mengatur dan mengurusi umatnya setelah Beliau wafat:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ

Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah (HR al-Bukhari dan Muslim).

Khalifah itulah yang diwajibkan untuk diangkat dengan jalan baiat. Dengan adanya khalifah, kewajiban adanya baiat di pundak setiap Muslim dapat diwujudkan. Sebaliknya, jika tidak ada khalifah, baiat yang diwajibkan itu tidak ada di pundak setiap kaum Muslim. Rasulullah saw. mencela keadaan tersebut dengan menyebut para pelakunya mati jahiliah. Beliau bersabda:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة

Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada baiat, maka matinya dalam keadaan jahiliah. (HR Muslim).

Bertolak dari pemikiran ini, tak mengherankan jika al-Qurthubi menyatakan, ayat ini menjadi asal atau pokok bagi wajibnya mengangkat imam dan khalifah yang didengar dan ditaati, untuk menyatukan kalimat, dan menerapkan hukum-hukum khalifah.[19] Pendapat ini juga didukung az-Zuhaili.[20] Mereka menegaskan, seluruh ulama sepakat tentang wajibnya mengangkat khalifah di antara umat dan para imam. Menurutnya, hanya Abu Bakr al-Asham dari kalangan Muktazilah saja yang menyimpang dari pendapat tersebut.

Di samping ayat ini, kedua mufassir itu juga mendasarkan pada QS Shad: 26 dan QS an-Nur: 55. Para Sahabat juga berijmak untuk mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq setelah perselisihan kaum Muhajirin adn Anshar di Saqifah Bani Saidah.[21]

Walhasil, Khilafah wajib ditegakkan. Setiap Muslim pun wajib turut berjuang bahu-membahu menegakkan Khilafah yang menerapkan Islam dan menyebarkannya ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.]


Catatan kaki:





--------------------------------------------------------------------------------


[1] As-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), 174; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 220; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1 (Berut: Dar al-Fikr, 1991), 132

[2] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 90; al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 112; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 132.

[3] Ini juga merupakan pendapat Hasan al-Basri. Sebagaimana dikutip al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 182; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 116.

[4] Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 284; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113.

[5] Ibnu Juzy al-Kalbi, At-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 60; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, vol. 1, 49; al-Baghawi, Al-Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 1, 31; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 132.

[6] Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 1, 237; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 138.

[7] Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 77; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 33; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113.

[8] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 90; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 284.

[9] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 90; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1, 284.

[10] Al-Baghawi, Al-Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 31; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 2, 222; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 126; al-Ajili, Al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 61; Ibnu Juzy al-Kalbi, Al-Tasyhîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 1, 60; al-Syanqithi, Adhwâ’ al-Bayân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 20

[11] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 2, 222; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl, vol. 1, 49.

[12] Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 40ز

[13] An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1, 33; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126; al-Ajili, al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1, 61; Said Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1 (Kairo: Dar al-Salam, 1999), 116.

[14] Al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1, 285.

[15] Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126.

[16] Al-Wahidi, al-Wasîth, vol. 1, 113; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1, 40.

[17] Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, ; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126; al-Ajili, Al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1, 61; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl, vol. 1, 50.

[18] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 90; Said Hawa, Al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1, 116.

[19] Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 182.

[20] Al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 139.

[21] Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1, 183; al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 139.