22 April 2008

Ukhuwah islamiyah atau Hizbiyah ?

oleh: Abu Fatih Asy-Syirbuni

Ada sebagian kaum muslimin yang terlalu jauh mengartikan cintanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau sendiri. Rasulullah adalah suri tauladan bagi kita umatnya sebagaimana telah Allah sebutkan di dalam firman-Nya surat Al-Ahzab ayat 21. Namun beliau pun adalah seorang manusia yang menikah, makan dan minum, tidur, dan melakukan aktivitas sebagaimana kita melakukannya. Hanya perbedaan beliau dengan umatnya adalah dalam perkara kenabian dan kerasulannya. Beliau adalah Nabi sekaligus Rasul Allah yang diutus dengan membawa risalah atau wahyu dari Allah Ta’ala melalui malaikat Jibril ‘alaihissalam untuk disampaikan kepada manusia dan kelebihan beliau yang lain dari umatnya adalah bahwa beliau memiliki mukzijat sebagai bukti kerasulannya dengan dikabarkannya mukjizat beliau dalam banyak riwayat yang shahih. Selain itu semua beliau pun telah maksum dari segala kesalahan dan dosa yang diperbuatnya karena mendapat bimbingan langsung dari Allah Ta’ala dan telah mendapatkan jaminan surga.

Namun untuk hal-hal yang menjadi rahasia Allah ta’ala dan tidak diungkapkan atau dikhabarkan baik oleh Allah Ta’ala sendiri melalui kalam-Nya ataupun oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui lisannya dalam hadits yang shahih periwayatannya, maka sebagai ahlu sunnah wal jama’ah sikap kita adalah diam dan tidak memperbincangkannya (mauqif). Adalah sesuatu yang dipaksakan apabila ada sekelompok manusia yang mengklaim bahwa Allah telah memberikan sebagian dari sifat-sifatNya yang mulia kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa dapat merujuk kepada keabsahan dalil-dalil yang kuat baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Atau mereka menggunakan dalil namun dengan hadits-hadits yang lemah.

Allah Ta’ala berfirman:

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Al Maidah : 77)

Allah telah mengkhabarkan keadaan ahli kitab ketika mereka melakukan ghuluw terhadap agama mereka sehingga mereka menyesatkan kebanyakan manusia dan merekapun akhirnya tersesat dari jalan yang lurus.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Janganlah kalian memujiku sebagaimana Nashara memuji Isa bin Maryam , sesungguhnya aku adalah hamba-Nya , maka katakanlah : “Hamba Allah dan Rasul-Nya”. ( Hadits riwayat Bukhari)

Pada awalnya kaum Nashara tidak menganggap Isa bin Maryam sebagai Tuhan mereka, namun sikap ghuluw kepadanya membawa akibat yang tidak mereka sadari dan ini telah menjadi bukti nyata keadaan saat ini dimana mereka telah menganggap Isa bin Maryam sebagai Tuhan. Dalam hadits yang mulia di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk mengatakan bahwa beliau adalah Hamba Allah dan Rasul-Nya. Tidak dengan embel-embel yang lain. Siapakah perkataannya yang paling layak untuk diikuti dalam hal ini, Rasulullah atau mereka yang memerintahkan untuk memuji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berlebihan.

Diantara kejanggalan sebagian kaum muslimin dalam menyanjung beliau adalah dengan beberapa sanjungan yang melampaui batas serta menisbatkan beberapa perkara ghaib yang merupakan sifat yang khusus bagi Al-Khaliq dan seolah-olah beliau pun mengetahui perkara tersebut disamping Allah Ta’ala. Ini adalah penisbatan yang sangat fatal dan pemahaman yang keliru. Sebagai contoh ada sebagian orang yang mengatakan:

  • Bahwa sesungguhnya Rasulullah mempunyai kunci-kunci langit dan bumi.
    Bahwasanya beliau mampu memotong tanah surga.
    Beliau mengetahui alam ghaib dan roh serta lima perkara yang merupakan kekhususan Allah untuk mengetahuinya.

Maka saya bertanya: atas dasar apa klaim tersebut diucapkan? Jika memang benar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kemampuan seperti itu maka hal ini butuh penyangga yaitu berupa dalil yang sangat kuat. Jika tidak mampu mendatangkan dalil yang sangat kuat maka jauhilah igauan seperti itu. Karena hakikatnya ia bertentangan dengan firman Allah berikut:

Allah Taaala berfirman :

Artinya “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. an-Naml : 65)

Kemudian dalam firman yang lainnya:

Artinya “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. al-Anaam : 59)

Allah berfirman :

Artinya “Katakanlah : Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) Aku mengatakan kepadamu bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-Anam : 50]

Demikian pula klaim seperti itu pun akan menentang hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri:

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi, bahwasanya beliau bersabda :
“Kunci-kunci keghaiban itu ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Tidak ada yang mengetahui apa yang disembunyikan oleh rahim-rahim kecuali Allah. Tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari kecuali Allah. Tidak ada yang mengetahui kapan datangnya hujan kecuali Allah. Tidak ada satu jiwapun yang mengetahui di belahan bumi yang mana dia akan mati kecuali Allah. Tidak ada yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat kecuali Allah”. (Imam Bukhori)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Barangsiapa menyangka bahwa Muhammad memberitakan apa yang akan terjadi esok hari, maka sungguh dia telah membuat kebohongan yang paling besar atas nama Allah”. (Imam Muslim)

Demikian begitu terang dan jelasnya firman Allah Ta’ala dan hadits shahih tentang perkara ghaib yang tidak akan bisa diketahui oleh siapapun kecuali Allah Ta’ala sendiri termasuk Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sekiranya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ghoib sebagaimana Allah Ta’ala miliki maka beliau akan jelaskan di dalam hadits – hadits beliau kepada para sahabat beliau. Bahkan tentunya Allah Ta’ala sendirilah yang akan mengabadikannya di dalam firman-Nya sebagaimana Dia memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada umatnya tentang diri beliau dengan ungkapan “Katakanlah:…”

Allah berfirman :

Artinya “Katakanlah : “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan sekiranya Aku mengetahui yang ghaib, tentulah Aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan Aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Araaf : 18 8)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan berdusta atau menyembunyikan berita dari Allah sampai beliau wafat terhadap semua perkara agama ini hingga agama ini betul-betul telah sempurna terlebih lagi dalam persoalan akidah dan tauhid yang bersifat hitam-putih. Termasuk tentang lima hal yang telah Allah berikan kepada beliau maka beliaupun mengkhabarkannya dalam sebuah hadits shahih

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Aku diberi lima hal, yang tidak diberikan kepada seorangpun dari para nabi sebelumku: aku diberi pertolongan dengan diberikannya rasa takut kepada musuh sejauh perjalanan sebulan, dan dijadikan bumi bagiku sebagai masjid dan suci, dimanapun salah seorng dari umatku menjumpai shalat maka hendaklah ia shalat, dan dihalalkan bagiku rampasan perang,
dan dahulu seorang nabi diutus khusus kepada umatnya, sedangkan aku diutus untuk manusia seluruhnya, dan aku diberi syafaat”.
(Muttafaqun ‘alaihi)

Kemudian syubhat yang mereka bawa dalam menta’wil ayat 188 surat Al-A’raaf di atas adalah bahwa semua itu bisa saja terjadi jika Allah Ta’ala berkehendak kepada Nabi-Nya. Apa yang susah bagi Allah untuk melakukan hal itu. Artinya kunci-kunci ghaib yang tidak akan bisa diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala bisa saja diberikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jika Allah Ta’ala berkehendak.

Maka hal ini dijawab dengan:

Pertama, kalimat “kecuali yang dikehendaki Allah” dalam ayat 188 surat Al-A’raaf tersebut tidak bisa ditafsirkan berdasarkan dugaan dan sangkaan semata. Yaitu dengan kalimat mereka bahwa “bisa saja” Allah berkehendak jika Allah menginginkannya. Al Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut beliau mengatakan: “Allah Ta’ala memerintahkan kepada Nabi untuk menyerahkan urusan-urusan kepada-Nya dan untuk mengabarkan tentang dirinya bahwasanya dirinya tidak mengetahui hal yang ghaib yang akan terjadi dan tidak ada pengetahuan dirinya atas sesuatu yang demikian itu kecuali apa yang Allah Ta’ala tampakkan kepadanya. Sebagaimana dalam firman-Nya di surat Jin ayat 26 ,”Dia mengetahui yang ghaib maka tidak ditampakkan kepada seorangpun”. Bagaimanakah Allah tampakkan sesuatu yang ghaib kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bisa ketika beliau tidur maupun terjaga namun tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakannya kepada para sahabatnya.

Maka jelas jika tidak ada khabar dari Nabi sendiri maka semua sangkaan ini adalah bathil dan memerlukan penyangga yang kokoh yaitu nash maupun hadits dengan penjelasan ulama ahli tafsir yang mu’tamad. Bukan berlandasakan hawa nafsu.

Kedua, kita harus mencermati pula apakah klaim seperti itu bertentangan tidak dengan al-Qur’an. Karena perkara ghiob sangat jarang dijelaskan secara muhkamat atau tidak ada yang memahami ta’wilnya selain Allah Ta’ala.

Ketiga, kalau mereka katakan bahwa semua yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh manusia namun sekiranya Allah berkehendak maka menjadi tidak mustahil. Maka sekali lagi pernyataan ini butuh dalil sebagai penyangganya. Lalu apa arti Kalamullah dan sunnah Rasulullah sebagai hudalinnas wal hikmah sekiranya di dalam keduanya tidak ada penjelasan hal-hal yang mereka dakwakan tersebut. Apakah Allah Ta’ala hendak menjebak kita dengan sesuatu yang tersembunyi yang hanya bisa tersingkap jika Allah mau tanpa tertuang di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak bukan? Lalu kalau begitu apa makna surat Al-Maidah ayat 3 bukankah agama ini telah sempurna?

Logika berandai-andai itu sudah sangat umum kita ketahui dalam dunia sufi karena mereka kebanyakan beragama dengan perasaan dan mimpi. Lalu berubahlah syariat yang mulia karena keduanya. Mereka memperdalam ilmu tauhid dengan menggunakan ilmu kalam dan filsafat sehingga semakin menjauh bagaikan timur dan barat yang tidak akan pernah bersatu.

Kita tentu mengetahui bahwa yang memasukkan seseorang ke dalam surga Allah Ta’ala bukanlah karena amal seseorang tersebut. Namun semua ini karena Rahmat Allah. Dan penjelasan seperti ini kita bisa temukan pada Al-Qur’an dan Hadits. Namun apakah hal ini bisa berlaku bagi semua manusia, tentu tidak. Orang kafir yang mati tetap dalam kekafiran tidak akan pernah mendapat Rahmat Allah untuk masuk surga. Karena dalil yang menerangkannya cukup banyak. Maka digabungkannlah (thoriqotul jami’) kedua sisi pendalilan ini. Jadi hanya ahli tauhidlah yang khusus mendapat jaminan dari Allah untuk masuk surga sekalipun memiliki dosa-dosa besar setinggi langit dan gunung.

Tetapi sebaliknya kita tidak bisa mengatakan dengan qorinah (indikasi) tadi di atas bahwa karena rahmat Allah bisa saja Allah berkehendak dengan keluasan rahmat-Nya, maka orang musyrik, Yahudi dan Nasrani akan masuk surga. Apa yang susah buat Allah melakukan hal itu? Demikian pula sama halnya dengan pelaku dan ahli bid’ah serta pemuja maksiat. Kalau Allah mau berkehendak terhadap mereka maka bid’ah dan maksiat itu bisa mendapatkan pahala dan tidak berdosa. Nah untuk mengklaim seperti ini jelas membutuhkan dalil penyangga. Sayangnya tidak satupun dalil yang membenarkan analogi seperti itu. Bahkan sebaliknya dalil yang menentang bid’ah dan maksiat sangatlah banyak. Maka mustahil analogi ini dipaksakan untuk dipahami akal karena berlawanan dengan nash. Sama halnya dengan kehendak Allah dalam memberikan sebagian sifat-Nya kepada mahluk yang dicintainya sekalipun, maka memerlukan penjelasan yang sangat kokoh atau ketika Allah memberikan kunci-kunci yang ghaib kepada Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini harus melalui khabar yang mutawattir dan shahih serta pernah diterima oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Barangsiapa tidak (merasa) cukup dengan tuntunan yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya maka berarti ia tidak menyerah kepada Allah dan syariat agama-Nya, dan tidak ada kebenaran dalam pengakuannya (bahwa ia) mencintai Rasulullah, dan ia tidak akan mendapati manisnya iman, dan sekali-kali kamu tidak akan dapat mendapati seorangpun memberi petunjuk baginya, Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk dari golonganku”

Wallahu Al Musta’an

Tidak ada komentar: