22 April 2008

Ukhuwah islamiyah atau Hizbiyah ?

oleh: Abu Fatih Asy-Syirbuni

Ada sebagian kaum muslimin yang terlalu jauh mengartikan cintanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau sendiri. Rasulullah adalah suri tauladan bagi kita umatnya sebagaimana telah Allah sebutkan di dalam firman-Nya surat Al-Ahzab ayat 21. Namun beliau pun adalah seorang manusia yang menikah, makan dan minum, tidur, dan melakukan aktivitas sebagaimana kita melakukannya. Hanya perbedaan beliau dengan umatnya adalah dalam perkara kenabian dan kerasulannya. Beliau adalah Nabi sekaligus Rasul Allah yang diutus dengan membawa risalah atau wahyu dari Allah Ta’ala melalui malaikat Jibril ‘alaihissalam untuk disampaikan kepada manusia dan kelebihan beliau yang lain dari umatnya adalah bahwa beliau memiliki mukzijat sebagai bukti kerasulannya dengan dikabarkannya mukjizat beliau dalam banyak riwayat yang shahih. Selain itu semua beliau pun telah maksum dari segala kesalahan dan dosa yang diperbuatnya karena mendapat bimbingan langsung dari Allah Ta’ala dan telah mendapatkan jaminan surga.

Namun untuk hal-hal yang menjadi rahasia Allah ta’ala dan tidak diungkapkan atau dikhabarkan baik oleh Allah Ta’ala sendiri melalui kalam-Nya ataupun oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui lisannya dalam hadits yang shahih periwayatannya, maka sebagai ahlu sunnah wal jama’ah sikap kita adalah diam dan tidak memperbincangkannya (mauqif). Adalah sesuatu yang dipaksakan apabila ada sekelompok manusia yang mengklaim bahwa Allah telah memberikan sebagian dari sifat-sifatNya yang mulia kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa dapat merujuk kepada keabsahan dalil-dalil yang kuat baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Atau mereka menggunakan dalil namun dengan hadits-hadits yang lemah.

Allah Ta’ala berfirman:

Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Al Maidah : 77)

Allah telah mengkhabarkan keadaan ahli kitab ketika mereka melakukan ghuluw terhadap agama mereka sehingga mereka menyesatkan kebanyakan manusia dan merekapun akhirnya tersesat dari jalan yang lurus.

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Janganlah kalian memujiku sebagaimana Nashara memuji Isa bin Maryam , sesungguhnya aku adalah hamba-Nya , maka katakanlah : “Hamba Allah dan Rasul-Nya”. ( Hadits riwayat Bukhari)

Pada awalnya kaum Nashara tidak menganggap Isa bin Maryam sebagai Tuhan mereka, namun sikap ghuluw kepadanya membawa akibat yang tidak mereka sadari dan ini telah menjadi bukti nyata keadaan saat ini dimana mereka telah menganggap Isa bin Maryam sebagai Tuhan. Dalam hadits yang mulia di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk mengatakan bahwa beliau adalah Hamba Allah dan Rasul-Nya. Tidak dengan embel-embel yang lain. Siapakah perkataannya yang paling layak untuk diikuti dalam hal ini, Rasulullah atau mereka yang memerintahkan untuk memuji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berlebihan.

Diantara kejanggalan sebagian kaum muslimin dalam menyanjung beliau adalah dengan beberapa sanjungan yang melampaui batas serta menisbatkan beberapa perkara ghaib yang merupakan sifat yang khusus bagi Al-Khaliq dan seolah-olah beliau pun mengetahui perkara tersebut disamping Allah Ta’ala. Ini adalah penisbatan yang sangat fatal dan pemahaman yang keliru. Sebagai contoh ada sebagian orang yang mengatakan:

  • Bahwa sesungguhnya Rasulullah mempunyai kunci-kunci langit dan bumi.
    Bahwasanya beliau mampu memotong tanah surga.
    Beliau mengetahui alam ghaib dan roh serta lima perkara yang merupakan kekhususan Allah untuk mengetahuinya.

Maka saya bertanya: atas dasar apa klaim tersebut diucapkan? Jika memang benar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kemampuan seperti itu maka hal ini butuh penyangga yaitu berupa dalil yang sangat kuat. Jika tidak mampu mendatangkan dalil yang sangat kuat maka jauhilah igauan seperti itu. Karena hakikatnya ia bertentangan dengan firman Allah berikut:

Allah Taaala berfirman :

Artinya “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS. an-Naml : 65)

Kemudian dalam firman yang lainnya:

Artinya “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. al-Anaam : 59)

Allah berfirman :

Artinya “Katakanlah : Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) Aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) Aku mengatakan kepadamu bahwa Aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (QS. Al-Anam : 50]

Demikian pula klaim seperti itu pun akan menentang hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri:

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi, bahwasanya beliau bersabda :
“Kunci-kunci keghaiban itu ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Tidak ada yang mengetahui apa yang disembunyikan oleh rahim-rahim kecuali Allah. Tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari kecuali Allah. Tidak ada yang mengetahui kapan datangnya hujan kecuali Allah. Tidak ada satu jiwapun yang mengetahui di belahan bumi yang mana dia akan mati kecuali Allah. Tidak ada yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat kecuali Allah”. (Imam Bukhori)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Barangsiapa menyangka bahwa Muhammad memberitakan apa yang akan terjadi esok hari, maka sungguh dia telah membuat kebohongan yang paling besar atas nama Allah”. (Imam Muslim)

Demikian begitu terang dan jelasnya firman Allah Ta’ala dan hadits shahih tentang perkara ghaib yang tidak akan bisa diketahui oleh siapapun kecuali Allah Ta’ala sendiri termasuk Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sekiranya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengetahuan tentang hal-hal yang ghoib sebagaimana Allah Ta’ala miliki maka beliau akan jelaskan di dalam hadits – hadits beliau kepada para sahabat beliau. Bahkan tentunya Allah Ta’ala sendirilah yang akan mengabadikannya di dalam firman-Nya sebagaimana Dia memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada umatnya tentang diri beliau dengan ungkapan “Katakanlah:…”

Allah berfirman :

Artinya “Katakanlah : “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan sekiranya Aku mengetahui yang ghaib, tentulah Aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan Aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Araaf : 18 8)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan berdusta atau menyembunyikan berita dari Allah sampai beliau wafat terhadap semua perkara agama ini hingga agama ini betul-betul telah sempurna terlebih lagi dalam persoalan akidah dan tauhid yang bersifat hitam-putih. Termasuk tentang lima hal yang telah Allah berikan kepada beliau maka beliaupun mengkhabarkannya dalam sebuah hadits shahih

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Aku diberi lima hal, yang tidak diberikan kepada seorangpun dari para nabi sebelumku: aku diberi pertolongan dengan diberikannya rasa takut kepada musuh sejauh perjalanan sebulan, dan dijadikan bumi bagiku sebagai masjid dan suci, dimanapun salah seorng dari umatku menjumpai shalat maka hendaklah ia shalat, dan dihalalkan bagiku rampasan perang,
dan dahulu seorang nabi diutus khusus kepada umatnya, sedangkan aku diutus untuk manusia seluruhnya, dan aku diberi syafaat”.
(Muttafaqun ‘alaihi)

Kemudian syubhat yang mereka bawa dalam menta’wil ayat 188 surat Al-A’raaf di atas adalah bahwa semua itu bisa saja terjadi jika Allah Ta’ala berkehendak kepada Nabi-Nya. Apa yang susah bagi Allah untuk melakukan hal itu. Artinya kunci-kunci ghaib yang tidak akan bisa diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala bisa saja diberikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jika Allah Ta’ala berkehendak.

Maka hal ini dijawab dengan:

Pertama, kalimat “kecuali yang dikehendaki Allah” dalam ayat 188 surat Al-A’raaf tersebut tidak bisa ditafsirkan berdasarkan dugaan dan sangkaan semata. Yaitu dengan kalimat mereka bahwa “bisa saja” Allah berkehendak jika Allah menginginkannya. Al Hafizh Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut beliau mengatakan: “Allah Ta’ala memerintahkan kepada Nabi untuk menyerahkan urusan-urusan kepada-Nya dan untuk mengabarkan tentang dirinya bahwasanya dirinya tidak mengetahui hal yang ghaib yang akan terjadi dan tidak ada pengetahuan dirinya atas sesuatu yang demikian itu kecuali apa yang Allah Ta’ala tampakkan kepadanya. Sebagaimana dalam firman-Nya di surat Jin ayat 26 ,”Dia mengetahui yang ghaib maka tidak ditampakkan kepada seorangpun”. Bagaimanakah Allah tampakkan sesuatu yang ghaib kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bisa ketika beliau tidur maupun terjaga namun tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menceritakannya kepada para sahabatnya.

Maka jelas jika tidak ada khabar dari Nabi sendiri maka semua sangkaan ini adalah bathil dan memerlukan penyangga yang kokoh yaitu nash maupun hadits dengan penjelasan ulama ahli tafsir yang mu’tamad. Bukan berlandasakan hawa nafsu.

Kedua, kita harus mencermati pula apakah klaim seperti itu bertentangan tidak dengan al-Qur’an. Karena perkara ghiob sangat jarang dijelaskan secara muhkamat atau tidak ada yang memahami ta’wilnya selain Allah Ta’ala.

Ketiga, kalau mereka katakan bahwa semua yang tidak mungkin untuk dilakukan oleh manusia namun sekiranya Allah berkehendak maka menjadi tidak mustahil. Maka sekali lagi pernyataan ini butuh dalil sebagai penyangganya. Lalu apa arti Kalamullah dan sunnah Rasulullah sebagai hudalinnas wal hikmah sekiranya di dalam keduanya tidak ada penjelasan hal-hal yang mereka dakwakan tersebut. Apakah Allah Ta’ala hendak menjebak kita dengan sesuatu yang tersembunyi yang hanya bisa tersingkap jika Allah mau tanpa tertuang di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak bukan? Lalu kalau begitu apa makna surat Al-Maidah ayat 3 bukankah agama ini telah sempurna?

Logika berandai-andai itu sudah sangat umum kita ketahui dalam dunia sufi karena mereka kebanyakan beragama dengan perasaan dan mimpi. Lalu berubahlah syariat yang mulia karena keduanya. Mereka memperdalam ilmu tauhid dengan menggunakan ilmu kalam dan filsafat sehingga semakin menjauh bagaikan timur dan barat yang tidak akan pernah bersatu.

Kita tentu mengetahui bahwa yang memasukkan seseorang ke dalam surga Allah Ta’ala bukanlah karena amal seseorang tersebut. Namun semua ini karena Rahmat Allah. Dan penjelasan seperti ini kita bisa temukan pada Al-Qur’an dan Hadits. Namun apakah hal ini bisa berlaku bagi semua manusia, tentu tidak. Orang kafir yang mati tetap dalam kekafiran tidak akan pernah mendapat Rahmat Allah untuk masuk surga. Karena dalil yang menerangkannya cukup banyak. Maka digabungkannlah (thoriqotul jami’) kedua sisi pendalilan ini. Jadi hanya ahli tauhidlah yang khusus mendapat jaminan dari Allah untuk masuk surga sekalipun memiliki dosa-dosa besar setinggi langit dan gunung.

Tetapi sebaliknya kita tidak bisa mengatakan dengan qorinah (indikasi) tadi di atas bahwa karena rahmat Allah bisa saja Allah berkehendak dengan keluasan rahmat-Nya, maka orang musyrik, Yahudi dan Nasrani akan masuk surga. Apa yang susah buat Allah melakukan hal itu? Demikian pula sama halnya dengan pelaku dan ahli bid’ah serta pemuja maksiat. Kalau Allah mau berkehendak terhadap mereka maka bid’ah dan maksiat itu bisa mendapatkan pahala dan tidak berdosa. Nah untuk mengklaim seperti ini jelas membutuhkan dalil penyangga. Sayangnya tidak satupun dalil yang membenarkan analogi seperti itu. Bahkan sebaliknya dalil yang menentang bid’ah dan maksiat sangatlah banyak. Maka mustahil analogi ini dipaksakan untuk dipahami akal karena berlawanan dengan nash. Sama halnya dengan kehendak Allah dalam memberikan sebagian sifat-Nya kepada mahluk yang dicintainya sekalipun, maka memerlukan penjelasan yang sangat kokoh atau ketika Allah memberikan kunci-kunci yang ghaib kepada Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hal ini harus melalui khabar yang mutawattir dan shahih serta pernah diterima oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Barangsiapa tidak (merasa) cukup dengan tuntunan yang datangnya dari Allah dan Rasul-Nya maka berarti ia tidak menyerah kepada Allah dan syariat agama-Nya, dan tidak ada kebenaran dalam pengakuannya (bahwa ia) mencintai Rasulullah, dan ia tidak akan mendapati manisnya iman, dan sekali-kali kamu tidak akan dapat mendapati seorangpun memberi petunjuk baginya, Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk dari golonganku”

Wallahu Al Musta’an

Ilmu Nahwu

nopember 14, 2007

oleh: Abu Fatih Asy Syirbuni

Ilmu nahwu adalah ilmu yang mempelajari sintaksis kata (tata bahasa) dalam bahasa arab. Untuk mengetahui hukum akhir (tanda) suatu kata maka ilmu nahwu bidangnya. Misalkan dalam menentukan apakah suatu kata di dalam kalimat tersebut harus berharokat fathah, kasroh, dhomah, sukun dll. Di dalam ilmu nahwu ada yang disebut dengan Kalam yaitu kata. Kata dalam bahasa arab terdiri dari tiga:

  1. Isim (kata benda)

  2. Fi’il (kata kerja)

  3. Hurf (huruf)

Definisi Isim (kata benda) yang umum adalah setiap lafazh yang dengan lafazh tersebut menunjukkan sesuatu yang dinamakan orang (انسان), hewan (حيوان ), tumbuhan (نبات ) dan benda mati (جماد) atau sesuatu yang lain dari semuanya.

Definisi Fi’il (kata kerja) adalah setiap lafazh yang menunjukkan atas terjadinya suatu perbuatan pada waktu lampau, sekarang dan yang akan datang.

Definisi Hurf (huruf) adalah setiap lafazh yang tidak tampak memiliki makna yang sempurna kecuali dengan sesuatu yang menyertainya.

Selain itu di dalam ilmu nahwu dikenal juga adanya jumlah mufidah(kalimat sempurna). Bukan jumlah dalam perhitungan matematika lho..ya. Nah justeru inilah yang jadi tujuan para pecinta bahasa arab. Bagaimana sih membuat suatu kalimat dan memperaktekannya baik dalam berbicara atau menulis maupun membaca. Sebelum membahas lebih jauh bagaimana menyusun kata sehingga menjadi sebuah kalimat. Maka yang harus diketahui terlebih dahulu adalah apa sih jumlah mufidah(kalimat sempurna) itu.

Definisi jumlah mufidah (kalimat) adalah struktur kata yang terdiri dari dua kata atau lebih yang memberikan suatu faidah (pemahaman) yang sempurna. Jika tidak memberikan pemahaman yang sempurna maka bukanlah sebagai jumlah mufidah.

Contoh jumlah mufidah:

ان تجتهذ تنجح - Jika kamu bersungguh-sungguh kamu akan berhasil

Ketika kita berbicara dengan kalimat seperti di atas maka lawan bicara kita akan memahami maksud kalimat yang kita ucapkan. Maka inilah kalimat sempurna.

Akan tetapi manakala kalimat itu berubah menjadi

ان تجتهذ - Jika kamu bersungguh-sungguh…

Maka kalimat tersebut bukan kalimat sempurna. Karena tidak terpenuhinya pemahaman yang utuh. Jika kita mengatakan kalimat seperti ini kepada seseorang yang kita ajak bicara. Maka lawan bicara kita tidak memahami maksudnya. Ia akan bertanya: “kenapa kalau saya bersungguh-sungguh..?”, disini ia meminta jawaban atau kelanjutan dari kalimat yang kita ucapkan. Mengerti kan sampai disini… ditunggu lanjutannya yah.



Kemanakah mereka pergi?

Januari 2, 2008

Oleh: Abu Fatih Muhammad Harits as-Syirbuni
Bismillahirrahmanirrahim
Pada tanggal 31 Desember 2007 pukul 19.30 masih terekam jelas dalam ingatan saya suasana hangar-bingar di sekitar tempat tinggal saya sebuah kecamatan dari kabupaten kota industri di pinggiran ibu kota Jakarta,

Dentuman petasan, raungan suara knalpot motor dengan asap yang mengepul, percikan kembang api meluncur ke udara, jalanan macet, tiupan terompet adalah pemandangan dominan pada tanggal tersebut meskipun suasana malam diselimuti awan mendung.

Saat itu saya, alhamdulillah, tetap tidak merubah janji saya untuk tetap datang dalam kajian bahasa arab di tempat salah seorang guru ngaji saya. Walaupun jalanan merayap namun tak sampai membatalkan niat saya untuk bisa mencapai tempat yang saya tuju. Kebetulan tempatnya tidak terlalu jauh juga.

Sebenarnya apa yang ditampakkan saat itu adalah sesuatu yang hampir tiap tahun terjadi pada negeri ini yang konon negeri dengan penduduk mayoritas beragama islam terbesar di dunia. Sungguh angka yang sangat fantastis. Namun ada ganjalan ketidakpuasan dalam menyikapi fenomena umat saat itu ketika saya melihat begitu banyaknya mereka (kaum muslimin) yang justeru paling mendominasi pesta pergantian tahun masehi. Padahal tahun masehi bukanlah suatu tahun yang mereka yakini sebagai bagian dari waktu penentuan syiar-syiar agama kita yakni islam, seperti penentuan awal Ramadhan, masuknya Idul Fitri atau yaumu an-nahar Idul Adha, bukan sekali-kali bukan.

Mengapa mereka amat antusias dalam merayakan pergantian tahun meskipun mereka harus rela berdesak-desakan dalam kemacetan, ikhtilat (campur baur lelaki dan wanita yang bukan mahromnya), bahkan ada yang berkholwat, berkorban materi baik uang untuk membeli petasan, terompet maupun uang bensin untuk kendaraan bermotor yang mereka gunakan. Mereka rela harus begadang semalam suntuk untuk menanti detik-detik pergantian tahun. Meskipun tak jarang dari mereka yang melupakan waktu sholat mereka karena bangun kesiangan dan membuang-buang waktu produktif mereka yang seharusnya mereka gunakan untuk mendalami agama ini

Sungguh sangat ironis disaat bangsa ini begitu sering terpuruk dalam bencana yang tak kunjung sirna, di saat jeritan anak kecil meminta perlindungan dari kedinginan dan kelaparan, di saat rintihan pengemis jalanan menahan lapar, di saat seorang bapak rela menjadi maling akibat terkena imbas PHK masal, di saat sang ibu rela menjual diri di pangkuan si hidung belang demi sesuap nasi untuk anaknya, di saat pengungsi tidur di atas tikar dengan bantal-bantal lembab akibat banjir. Masihkan kita memiliki muka sebagai bangsa yang berakhlaq islam?!

Bagaimana pula perasaan orang kufar ketika menyaksikan begitu antusiasnya umat Islam dalam perayaan hari-hari mereka? Bukankah mereka akan tersenyum puas karena tidak menemui kesulitan dalam mendoktrin umat Islam agar mengikuti milah mereka (Yahudi dan Nasrani). Tidaklah mereka bersusah payah untuk memurtadkan umat Islam negeri ini namun cukup bagi mereka mengajak umat Islam ikut merayakan dan meng-iya-kan tradisi-tradisi jahiliyah mereka. Sehingga harapan kaum kuffar akan matinya hati umat Islam terhadap ketersinggungan dan kecemburuan ketika nilai-nilai Islam banyak mendapat penghinaan dan pemojokkan benar-benar akan mudah dicapai. Inilah yang mereka harapkan yaitu menjauhkan sejauh-jauhnya umat Islam dari nilai-nilai Islam walaupun hanya dalam momen satu hari saja, yakni malam pergantian tahun!

Saya mencermati pada satu sisi yang menarik pula yaitu berapa banyak uang sia-sia yang mereka bakar demi terpuaskannya hasrat nafsu duniawi mereka? Setelah mereka mencederai nilai-nilai Islam mereka.

Saya coba berhitung dengan hitungan sederhana. Di daerah tempat tinggal saya sebuah kecamatan kecil dihuni sekitar dua belas ribu kepala keluarga. Saya misalkan seperempat darinya ikut merayakan pesta tahun baru maka berarti ada sekitar tiga ribu kepala keluarga yang rela ‘berkorban’ demi tahun baru. Katakanlah setiap keluarga itu dengan tanpa paksaan mengeluarkan dari koceknya uang sebesar lima puluh ribu rupiah untuk sepaket kembang api. Maka akan didapatkan angka rupiah sebesar seratus lima puluh juta rupiah!

Satu malam mereka membakar uang sebanyak seratus lima puluh juta rupiah di satu kecamatan, bagaimana sekiranya seluruh kecamatan di negeri ini berama-ramai merayakannya juga. Bisa dibayangkan berapa miliar rupiah uang yang mereka bakar dalam satu malam? Belum lagi berita yang saya dengar dari salah satu radio swasta bahwa pemerintah DKI Jakarta sengaja mengimpor kembang api dari China untuk merayakan malam ‘kemaksiatan’ pergantian tahun ini. Ma’adzallah wa na’udzu billahi min ‘amali syaiton.

Saya ingin mengingatkan kaum muslimin di negeri ini yang kebetulan membaca tulisan saya ini akan sebuah firman Allah ta’ala:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS. Al-A’raaf [7] : 96)

Janji Allah tidaklah meleset, namun apa yang kita peroleh selama ini wahai saudaraku? Bencana demi bencana dari hari ke hari, bulan ke bulan tahun ke tahun tidak sedikit pun membaik baik bencana alam maupun bencana manusia berupa kemaksiatan dan kemunafikan. Ini berarti banyak dari kita umat Islam yang mendustakan ayat-ayat Allah, sehingga Allah mengirimkan azab yang pedih ke negeri ini. Kondisi ini merupakan makna mujmal (global) akan kesalahan umat Islam negeri ini, saya katakan tidak seluruhnya umat Islam yang melakukan kesalahan namun Allah ketika menimpakan azab tidak pula pilih kasih. Maka tidak ada azab yang kebetulan.

Sedangkan makna tafsil (rinci) dari kesalahan umat ini dapat saya uraikan ke dalam beberapa sebab.

Pertama, hal yang menyangkut akidah yaitu tasyabuh atau menyerupai orang kafir dengan menisbatkan diri kepada apa-apa yang bukan datang dari Islam melainkan tradisi dan kebiasaan dari agama orang kafir dalam hal ini Yahud dan Nasrani.

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia merupakan bagian dari kaum tersebut”. (HR. Abu Daud)

Perayaan tahun baru adalah bagian dari tradisi dan kebiasaan jahiliyah kaum kafir. Orang barat sering menggunakan momen ini sebagai simbol mordenisasi dan westernisasi. Mengikutinya adalah berarti menyerupainya dan ber-wala terhadap kesesatan mereka. Padahal kita disuruh untuk berlepas diri dari kemungkaran dan kesesatan mereka.

Kedua, menyangkut pemborosan harta dan tabdzir karena membelanjakan harta berlebihan terlebih lagi untuk sesuatu yang bertentangan dengan akidah islamiyah.

Allah ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Israa’ [17] : 27)

Sedangkan Allah ta’ala justeru memerintahkan kita untuk menggunakan harta yang kita miliki dengan sebaik-baiknya.

“Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al-Baqoroh [2] : 272)

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqoroh [2] : 195)

Ketiga, melukai perasaan saudara seiman yang sedang menderita bahkan ada yang sedang meregang nyawa di daerah bencana. Hal ini merupakan pemecah ukhuwwah islamiyyah padahal Islam sangat menganjurkan persaudaraan dibangun di atas sikap dermawan dan tolong menolong.

Allah ta’ala berfirman:

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-Hujuraat [49] : 10)

Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rasulullah bersabda:

“Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya” (HR Muslim)

“Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutup aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya” . (HR. Muslim)

Tidakkah kita tersentuh untuk melepaskan kesusahan dan penderitaan saudara kita dengan uang yang setiap tahun kita bakar atau akankah kita berpaling dari firman-firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan serta merta mengumbar hawa nafsu duniawi kita.

Inilah potret umat Islam saat ini, mereka terlalu mencintai kehidupan dunianya dan takut kehilangan apa yang mereka miliki. Lupa terhadap apa yang wajib bagi mereka lakukan justeru terlalu menyibukkan dengan hal-hal yang dilarang oleh agama ini.

Apa yang saya khawatirkan terbukti jelas manakala suasana pagi buta merayap masuk sedikit-demi sedikit membuka tabir malam. Ketika azan subuh berkumandang beriringan dengan kabut pagi yang cukup dingin setelah semalam diguyur hujan, ternyata tak nampak di mata ini suasana semeriah malam tadi. Malam pesta pora anak manusia meskipun mereka tidak memperoleh balasan apa-apa dari Tuhan mereka. Pagi itu masjid-masjid nyaris sepi di semua tempat dari langkah kaki kaum muslimin. Sementara kaki-kaki mereka ketika malam pergantian tahun baru begitu perkasa menginjak-injak jalanan.

Di sisi lain panggilan azan subuh mereka anggap tidak lebih sebagai suatu teriakan muazin bukan sebagai panggilan ilahi dimana Allah telah menjanjikan kesempurnaan cahaya kelak di hari kiamat kepada seorang hamba yang memiliki qolbun salim yang melangkah ke masjid di pagi buta yang gelap. Di saat itu pula dua malaikat pencatat amal turun ke dunia untuk menukar catatan amal seorang hamba dan menyampaikan apa yang mereka saksikan di dunia kepada Al Malik Allah ‘Jalla wa ‘Ala. Tidakkah kita rindu dan semangat untuk hal yang demikian? Tidak cukupkah Allah memberikan balasan sedemikian hebat? Lalu kemanakah mereka pergi setelah semalam mereka ada di dunia?

. .

Kemanakah mereka pergi?

Januari 2, 2008

Oleh: Abu Fatih Muhammad Harits as-Syirbuni
Bismillahirrahmanirrahim
Pada tanggal 31 Desember 2007 pukul 19.30 masih terekam jelas dalam ingatan saya suasana hangar-bingar di sekitar tempat tinggal saya sebuah kecamatan dari kabupaten kota industri di pinggiran ibu kota Jakarta,

Dentuman petasan, raungan suara knalpot motor dengan asap yang mengepul, percikan kembang api meluncur ke udara, jalanan macet, tiupan terompet adalah pemandangan dominan pada tanggal tersebut meskipun suasana malam diselimuti awan mendung.

Saat itu saya, alhamdulillah, tetap tidak merubah janji saya untuk tetap datang dalam kajian bahasa arab di tempat salah seorang guru ngaji saya. Walaupun jalanan merayap namun tak sampai membatalkan niat saya untuk bisa mencapai tempat yang saya tuju. Kebetulan tempatnya tidak terlalu jauh juga.

Sebenarnya apa yang ditampakkan saat itu adalah sesuatu yang hampir tiap tahun terjadi pada negeri ini yang konon negeri dengan penduduk mayoritas beragama islam terbesar di dunia. Sungguh angka yang sangat fantastis. Namun ada ganjalan ketidakpuasan dalam menyikapi fenomena umat saat itu ketika saya melihat begitu banyaknya mereka (kaum muslimin) yang justeru paling mendominasi pesta pergantian tahun masehi. Padahal tahun masehi bukanlah suatu tahun yang mereka yakini sebagai bagian dari waktu penentuan syiar-syiar agama kita yakni islam, seperti penentuan awal Ramadhan, masuknya Idul Fitri atau yaumu an-nahar Idul Adha, bukan sekali-kali bukan.

Mengapa mereka amat antusias dalam merayakan pergantian tahun meskipun mereka harus rela berdesak-desakan dalam kemacetan, ikhtilat (campur baur lelaki dan wanita yang bukan mahromnya), bahkan ada yang berkholwat, berkorban materi baik uang untuk membeli petasan, terompet maupun uang bensin untuk kendaraan bermotor yang mereka gunakan. Mereka rela harus begadang semalam suntuk untuk menanti detik-detik pergantian tahun. Meskipun tak jarang dari mereka yang melupakan waktu sholat mereka karena bangun kesiangan dan membuang-buang waktu produktif mereka yang seharusnya mereka gunakan untuk mendalami agama ini

Sungguh sangat ironis disaat bangsa ini begitu sering terpuruk dalam bencana yang tak kunjung sirna, di saat jeritan anak kecil meminta perlindungan dari kedinginan dan kelaparan, di saat rintihan pengemis jalanan menahan lapar, di saat seorang bapak rela menjadi maling akibat terkena imbas PHK masal, di saat sang ibu rela menjual diri di pangkuan si hidung belang demi sesuap nasi untuk anaknya, di saat pengungsi tidur di atas tikar dengan bantal-bantal lembab akibat banjir. Masihkan kita memiliki muka sebagai bangsa yang berakhlaq islam?!

Bagaimana pula perasaan orang kufar ketika menyaksikan begitu antusiasnya umat Islam dalam perayaan hari-hari mereka? Bukankah mereka akan tersenyum puas karena tidak menemui kesulitan dalam mendoktrin umat Islam agar mengikuti milah mereka (Yahudi dan Nasrani). Tidaklah mereka bersusah payah untuk memurtadkan umat Islam negeri ini namun cukup bagi mereka mengajak umat Islam ikut merayakan dan meng-iya-kan tradisi-tradisi jahiliyah mereka. Sehingga harapan kaum kuffar akan matinya hati umat Islam terhadap ketersinggungan dan kecemburuan ketika nilai-nilai Islam banyak mendapat penghinaan dan pemojokkan benar-benar akan mudah dicapai. Inilah yang mereka harapkan yaitu menjauhkan sejauh-jauhnya umat Islam dari nilai-nilai Islam walaupun hanya dalam momen satu hari saja, yakni malam pergantian tahun!

Saya mencermati pada satu sisi yang menarik pula yaitu berapa banyak uang sia-sia yang mereka bakar demi terpuaskannya hasrat nafsu duniawi mereka? Setelah mereka mencederai nilai-nilai Islam mereka.

Saya coba berhitung dengan hitungan sederhana. Di daerah tempat tinggal saya sebuah kecamatan kecil dihuni sekitar dua belas ribu kepala keluarga. Saya misalkan seperempat darinya ikut merayakan pesta tahun baru maka berarti ada sekitar tiga ribu kepala keluarga yang rela ‘berkorban’ demi tahun baru. Katakanlah setiap keluarga itu dengan tanpa paksaan mengeluarkan dari koceknya uang sebesar lima puluh ribu rupiah untuk sepaket kembang api. Maka akan didapatkan angka rupiah sebesar seratus lima puluh juta rupiah!

Satu malam mereka membakar uang sebanyak seratus lima puluh juta rupiah di satu kecamatan, bagaimana sekiranya seluruh kecamatan di negeri ini berama-ramai merayakannya juga. Bisa dibayangkan berapa miliar rupiah uang yang mereka bakar dalam satu malam? Belum lagi berita yang saya dengar dari salah satu radio swasta bahwa pemerintah DKI Jakarta sengaja mengimpor kembang api dari China untuk merayakan malam ‘kemaksiatan’ pergantian tahun ini. Ma’adzallah wa na’udzu billahi min ‘amali syaiton.

Saya ingin mengingatkan kaum muslimin di negeri ini yang kebetulan membaca tulisan saya ini akan sebuah firman Allah ta’ala:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS. Al-A’raaf [7] : 96)

Janji Allah tidaklah meleset, namun apa yang kita peroleh selama ini wahai saudaraku? Bencana demi bencana dari hari ke hari, bulan ke bulan tahun ke tahun tidak sedikit pun membaik baik bencana alam maupun bencana manusia berupa kemaksiatan dan kemunafikan. Ini berarti banyak dari kita umat Islam yang mendustakan ayat-ayat Allah, sehingga Allah mengirimkan azab yang pedih ke negeri ini. Kondisi ini merupakan makna mujmal (global) akan kesalahan umat Islam negeri ini, saya katakan tidak seluruhnya umat Islam yang melakukan kesalahan namun Allah ketika menimpakan azab tidak pula pilih kasih. Maka tidak ada azab yang kebetulan.

Sedangkan makna tafsil (rinci) dari kesalahan umat ini dapat saya uraikan ke dalam beberapa sebab.

Pertama, hal yang menyangkut akidah yaitu tasyabuh atau menyerupai orang kafir dengan menisbatkan diri kepada apa-apa yang bukan datang dari Islam melainkan tradisi dan kebiasaan dari agama orang kafir dalam hal ini Yahud dan Nasrani.

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia merupakan bagian dari kaum tersebut”. (HR. Abu Daud)

Perayaan tahun baru adalah bagian dari tradisi dan kebiasaan jahiliyah kaum kafir. Orang barat sering menggunakan momen ini sebagai simbol mordenisasi dan westernisasi. Mengikutinya adalah berarti menyerupainya dan ber-wala terhadap kesesatan mereka. Padahal kita disuruh untuk berlepas diri dari kemungkaran dan kesesatan mereka.

Kedua, menyangkut pemborosan harta dan tabdzir karena membelanjakan harta berlebihan terlebih lagi untuk sesuatu yang bertentangan dengan akidah islamiyah.

Allah ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Israa’ [17] : 27)

Sedangkan Allah ta’ala justeru memerintahkan kita untuk menggunakan harta yang kita miliki dengan sebaik-baiknya.

“Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al-Baqoroh [2] : 272)

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqoroh [2] : 195)

Ketiga, melukai perasaan saudara seiman yang sedang menderita bahkan ada yang sedang meregang nyawa di daerah bencana. Hal ini merupakan pemecah ukhuwwah islamiyyah padahal Islam sangat menganjurkan persaudaraan dibangun di atas sikap dermawan dan tolong menolong.

Allah ta’ala berfirman:

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-Hujuraat [49] : 10)

Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rasulullah bersabda:

“Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya” (HR Muslim)

“Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutup aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya” . (HR. Muslim)

Tidakkah kita tersentuh untuk melepaskan kesusahan dan penderitaan saudara kita dengan uang yang setiap tahun kita bakar atau akankah kita berpaling dari firman-firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan serta merta mengumbar hawa nafsu duniawi kita.

Inilah potret umat Islam saat ini, mereka terlalu mencintai kehidupan dunianya dan takut kehilangan apa yang mereka miliki. Lupa terhadap apa yang wajib bagi mereka lakukan justeru terlalu menyibukkan dengan hal-hal yang dilarang oleh agama ini.

Apa yang saya khawatirkan terbukti jelas manakala suasana pagi buta merayap masuk sedikit-demi sedikit membuka tabir malam. Ketika azan subuh berkumandang beriringan dengan kabut pagi yang cukup dingin setelah semalam diguyur hujan, ternyata tak nampak di mata ini suasana semeriah malam tadi. Malam pesta pora anak manusia meskipun mereka tidak memperoleh balasan apa-apa dari Tuhan mereka. Pagi itu masjid-masjid nyaris sepi di semua tempat dari langkah kaki kaum muslimin. Sementara kaki-kaki mereka ketika malam pergantian tahun baru begitu perkasa menginjak-injak jalanan.

Di sisi lain panggilan azan subuh mereka anggap tidak lebih sebagai suatu teriakan muazin bukan sebagai panggilan ilahi dimana Allah telah menjanjikan kesempurnaan cahaya kelak di hari kiamat kepada seorang hamba yang memiliki qolbun salim yang melangkah ke masjid di pagi buta yang gelap. Di saat itu pula dua malaikat pencatat amal turun ke dunia untuk menukar catatan amal seorang hamba dan menyampaikan apa yang mereka saksikan di dunia kepada Al Malik Allah ‘Jalla wa ‘Ala. Tidakkah kita rindu dan semangat untuk hal yang demikian? Tidak cukupkah Allah memberikan balasan sedemikian hebat? Lalu kemanakah mereka pergi setelah semalam mereka ada di dunia?

Entry Filed under: Nasihat. .

Diangkatnya Muhammad Menjadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Di antara peristiwa manakjubkan menjelang kenabian, yaitu adanya sebuah batu yang mengucapkan salam kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peristiwa ini diceritakan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana terdapat di dalam hadits shahih bahwa Rasulullah bersabda:

“Sungguh aku mengetahui ada sebuah batu di daerah Makkah yang dia itu mengucapkan salam kepadaku sebelum aku diangkat menjadi Rasul. Aku sungguh mengetahuinya sekarang”. (HR. Muslim 4/1782)

Ketika menjelaskan hadits ini, Imam Nawawi mengatakan di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang salah satu mu’jizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Peristiwa Turunnya Wahyu

‘Aisyah ra menceritakan, peristiwa menjelang kenabian dan saat wahyu pertama diturunkan Malaikat Jibril as, ia mengatakan: “Peristiwa yang mengawali turunnya wahyu kepada Rasulullah yaitu mimpi yang benar dalam tidur. Beliau tidak memimpikan sesuatu kecuali mimpi itu datang bagaikan cahaya Subuh”. (HR Bukhori dalam at-Tafsir no. 4953. Lihat Shahih Sirah, karya Syaikh al Albani, hlm. 84)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suka berkhalwat (menyendiri) bertempat di dalam Gua Hira. Di sanalah beliau bertahannuts (yaitu beribadah) selama beberapa malam sebelum pulang ke keluarganya dan mengambil bekal lagi untuk beribadah, kemudian kembali lagi ke Khadijah serta mengambil bekal lagi untuk itu. Peristiwa ini berulang terus sampai al haq datang kepadanya. Namun tidak ada riwayat yang menjelaskan cara beliau beribadah pada waktu itu. (Sirah an Nabawiyah ash Shahihah, hlm. 125)

Malaikat Jibril mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan:

“Bacalah! Nabi menjawab, “Saya tidak bisa membaca”, beliau mengatakan, “Lalu Malaikat Jibril merangkulku, sampai aku merasa kepayahan, kemudian dia melepasku dan mengatakan: “Bacalah!”

Nabi menjawab, “Saya tidak bisa membaca”, dia merangkulku untuk kedua kalinya sampai aku merasa kepayahan, kemudian dia melepasku dan mengatakan: “Bacalah!”

Nabi menjawab, “Saya tidak bisa membaca”, dia merangkulku untuk yang ketiga kalinya, sampai aku merasa kepayahan, kemudian dia melepasku dan mengatakan: “Bacalah dengan (menyebut) nama Rabb-mu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Rabb-mulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al Alaq [96] : 1-5)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dengan hati gemetar. Beliau masuk ke Khadijah binti Khuwailid dan berseru: “Selimuti aku! Selimuti aku!” Kemudian beliau diselimuti sampai rasa takutnya hilang. Beliau menceritakan apa yang dialaminya kepada Khadijah, kemudian beliau berkata: “Aku mengkhawatirkan diriku sendiri”. Khadijah berkata seraya menghibur: “Sama sekali tidak. Bergembiralah demi Allah! Allah tidak akan membinasakanmu selama-lamanya. Karena engkau menyambung tali silaturrahim, berkata jujur, menghormati tamu, mampu menahan beban (tidak berkeluh kesah),membantu orang yang tidak punya serta menolong duta-duta kebenaran”.

Lalu Khadijah membawanya mendatangi Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uza sepupu Khadijah, yaitu anak dari saudra bapaknya. Pada masa jahiluyah, Waraqah ini penganut agama Nasrani. Dia bisa menulis kitab dalam bahasa Ibrani. Dia menulis Injil dalam bahasa Ibrani, sesuai dengan kehendak Allah. Dia sudah lanjut usia dan buta. Khadijah berkata kepadanya: “Wahai anak pamanku (sepupuku). Dengarkanlah cerita anak saudaramu ini”, Waraqah menyahut, “Wahai anak saudaraku! Apa yang engkau lihat?”

Maka Rasulullah mulai menceritakan apa yang dilihatnya. Setelah mendengar cerita itu, Waraqah berkata: “Ini adalah an Namus yang pernah turun kepada Nabi Musa as. Seandainya aku masih muda saat itu, seandainya aku masih hidup dikala engkau diusir oleh kaummu”, (mendengar ini) Rasulullah bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?”, Waraqah menjawab, “Ya. Tidak seorang pun yang datang membawa seperti apa yang engkau bawa, kecuali dia akan dianiaya. Seandainya aku masih mendapatkan zamanmu, pasti aku akan benar-benar menolongmu”, dan tak lama kemudian Waraqah meninggal. (HR. Bukhori no. 6982). [Lihat Shirah Shahih Syaikh al Albani hlm. 85-86]

Hadits yang panjang ini menjelaskan:

  • Iqra’ (QS. al Alaq : 1-5) merupakan bagian dari al Qur’an yang pertama kali turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peristiwa ini terjadi saat beliau berusia 40 tahun. Sedangkan riwayat yang menyatakan beliau menerima wahyu saat usia empat puluh tiga tahun adalah riwayat yang sadz (riwayat dari orang tsiqah, namun menyelisihi riwayat dari orang-orang yang lebih tsiqoh). Hal ini sebgaimana dikatakan oleh Imam an Nawawi dan Imam Ibnu Hajar al Asqolani. (Lihat ash Shirah an Nabawiyah ash Shahihah, hlm. 124).

  • Turunnya wahyu kepada Nabi merupakan peristiwa yang tidak disangka-sangka. Oleh karena itu beliau merasa ketakutan teramat sangat.

  • Sikap Khadijah dalam menenangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membantunya untuk mengetahui hakikat dari kejadian tersebut.

  • Menunjukkan kadar pengetahuan Waraqah tentang para nabi dan peringatannya kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam tentang kejadian-kejadian yang dialaminya. Juga menjelaskan tentang keinginannya untuk membantu dan mendukung Nabi jika ia masih hidup, namun ia meninggal sebelum peristiwa yang diperkirakan itu terjadi.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun/1427H/2006M]

Entry Filed under: Siroh Nabawiyah. .



Muqoddimah Al Ushul min ‘Ilmil Ushu

Desember 5, 2007

oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

MUQODDIMAH PENULIS

Ini adalah Tulisan singkat dalam Ushul Fiqih yang kami tulis sesuai kurikulum yang telah disepakati untuk tahun ketiga Tsanawiyah di ma’had-ma’had ilmiyyah, dan kami menamakannya: (al-Ushul min ‘Ilmil Ushul)

Aku memohon kepada Allah agar menjadikan ilmu kami ikhlas karena Allah dan bermanfaat bagi hamba-hamba Allah, sesungguhnya Allah Maha Dekat dan Maha Mengabulkan Doa.

USHUL FIQIH

DEFINISINYA:

Ushul Fiqih didefinisikan dengan 2 tinjauan:
Pertama : tinjauan dari 2 kosa katanya yaitu dari tinjauan kata dan kata Ushul adalah bentuk jamak dari “al-Ashl” yaitu apa yang dibangun di atasnya yang selainnya, dan diantaranya adalah ‘pokoknya tembok’ yaitu pondasinya, dan ‘pokoknya pohon’ yang bercabang darinya ranting-rantingnya. Allah berfirman:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit”
[QS. Ibrohim : 24]

Dan Fiqih secara bahasa adalah pemahaman, diantara dalilnya
adalah firman Allah :

“dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku.” (QS Thohaa : 27)

Dan secara istilah:
“Mengetahui hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah dengan dalil-dalilnya yang terperinci.” Maka yang dimaksud dengan perkataan kami : “Mengetahui” adalah Ilmu dan persangkaan. Karena mengetahui hukum-hukum fiqih terkadang bersifat yakin dan terkadang bersifat persangkaan, sebagaimana banyak dalam masalah-masalah fiqih. Dan yang dimaksud dengan perkataan kami : “Hukum-hukum syar’i” adalah hukum-hukum yang diambil dari syari’at, seperti wajib dan haram, maka keluar darinya (yakni Hukum-hukum syar’i) hukum-hukum akal; seperti mengetahui bahwa keseluruhan lebih besar daripada sebagian; dan hukum-hukum adat (kebiasaan); seperti mengetahui turunnya embun di malam yang dingin jika cuaca cerah. Yang dimaksud dengan perkataan kami : “Amaliah” adalah apa-apa yang tidak berhubungan dengan aqidah, seperti sholat dan zakat. Maka tidak termasuk darinya (Amaliah) apa-apa yang berhubungan dengan aqidah; seperti mentauhidkan Allah, dan mengenal nama-nama dan sifat-Nya; maka yang demikian tidak dinamakan Fiqih secara istilah.

Yang dimaksud dengan perkataan kami : “dengan dalil-dalilnya
yang terperinci” adalah dalil-dalil fiqh yang berhubungan dengan masalah-masalah fiqh yang terperinci, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu Ushul Fiqih karena pembahasan di dalamnya hanyalah mengenai dalil-dalil fiqih yang umum.

Kedua : dari tinjauan keberadaannya sebagai julukan pada bidang tertentu, maka Ushul Fiqih didefinisikan dengan : “Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqih yang umum dan cara mengambil faidah darinya dan kondisi orang yang mengambil faidah.” Yang dimaksud dengan perkataan kami “yang umum/mujmal”, kaidah-kaidah umum; seperti perkataan : “perintah menunjukkan hukum wajib”, “larangan menunjukkan hukum haram”, “sah-nya suatu amal menunjukkan amal tersebut telah terlaksana (yakni, ia tidak dituntut untuk mengulangi, pent)”. Maka tidak termasuk dari “yang umum”: dalil-dalil yang terperinci. Dalil-dalil terperinci tersebut tidaklah disebutkan dalam ilmu Ushul Fiqih kecuali sebagai contoh (dalam penerapan) suatu kaidah. Yang dimaksud dari perkataan kami : “dan cara mengambil faidah darinya” yaitu mengetahui bagaimana mengambil faidah hukum dari dalil-dalilnya dengan mempelajari hukum-hukum lafadz dan penunjukkannya seperti umum, khusus, muthlaq, muqoyyad, nasikh, mansukh, dan lain-lain. Maka dengan menguasainya (yakni cara mengambil faidah dari dalil-dalil umum) seseorang bisa mengambil faidah hukum dari dalil-dalil fiqih. Diinginkan dengan perkataan kami : “kondisi orang yang mengambil faidah”, yaitu mengetahui kondisi/keadaan orang yang mengambil faidah, yaitu mujtahid. Dinamakan orang yang mengambil faidah karena ia dengan dirinya sendiri dapat mengambil faidah hukum dari dalildalilnya karena ia telah mencapai derajat ijtihad. Maka mengenal mujtahid, syarat-syarat ijtihad, hukumnya dan yang semisalnya dibahas dalam ilmu Ushul Fiqih.

FAIDAH USHUL FIQIH:

Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang agung kedudukannya, sangat penting dan banyak sekali faidahnya. Faidahnya adalah kokoh dalam menghasilkan kemampuan yang seseorang mampu dengan kemampuan itu mengeluarkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya dengan landasan yang selamat. Dan yang pertama kali mengumpulkannya menjadi suatu bidang tersendiri adalah al-Imam asy-Syafi’i Muhammad bin Idris rohimahulloh, kemudian para ‘ulama sesudahnya mengikutinya dalam hal tersebut. Maka mereka menulis dalam ilmu Ushul Fiqih tulisan-tulisan yang bermacam-macam. Ada yang berupa tulisan, sya’ir, tulisan ringkas, tulisan yang panjang, sampai ilmu Ushul Fiqih ini menjadi bidang tersendiri keberadaannya dan kelebihannya.

[Diambil dari Kitab Al-Ushul min 'Ilmil Ushul, Penulis Asy-Syaikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin Penerjemah Abu SHilah & Ummu SHilah Disebarkan melalui : http://tholib.wordpress.com Jumadi ats-Tsaniyah 1428 H / Juni 2007 M]

Entry Filed under: Ushul Fiqh. .




Ilmu Adalah Obat


Ilmu Adalah Obat

Nopember 30, 2007

oleh: Syaikh Ali Hasan al-Halabi

Sebagian besar manusia menjalani kehidupan mereka dalam keadaan sakit, bingung dan tersesat. Mereka mencari obat untuk menyembuhkan penyakit mereka namun tidak mereka dapati, mereka melihat ke jalan yang mereka lalui, namun mereka tidak dapat membedakan! Padahal obat ada didepan mereka, ada diantara dua tangan mereka, obat tersebut adalah ilmu.

Imam adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H) berkata:
Barangsiapa sakit hatinya tertimpa keraguan dan was-was semua itu tidak akan hilang kecuali dengan bertanya kepada ahli ilmu. Hendaklah ia mempelajari kebenaran yang dapat menyingkirkan penyakit yang dideritanya.

Dan do’a yang paling mujarab adalah dengan merendahkan diri dihadapan Allah swt, meminta pertolongan kepada-Nya, hendaknya ia mengulang-ulangi dan memperbanyak do’a ini :

“Ya Allah Rabb Jibril, Mikail, dan Israfil, yang menurunkan Taurat dan Injil, tunjukilah aku kepada kebenaran yang diperselisihkan dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus”. (HR. Muslim 770)

Hendaknya ia memperbarui taubatnya, memohon ampunan kepada-Nya, dan meminta kepada Allah keyakinan dan kesejahteraan. Insya Allah dengan hal itu tidak akan berlalu hari melainkan ia akan sehat dan sembuh dari penyakitnya, ketauhidannya akan selamat, dan ia tidak akan terjerumus kedalam ilmu kalam/filsafat yang barangsiapa mempelajarinya untuk mengobati penyakitnya maka akan melahirkan penyakit-penyakit lainnya yang bisa jadi akan membunuhnya !! Bahkan banyaknya keraguan dan kesamaran tidak akan menimpa melainkan kepada seseorang yang berkecimpung dalam ilmu kalam dan filsafat !

Obat dari hal ini adalah membuang jauh-jauh hal yang membinasakan itu (ilmu kalam), berpaling dari hal-hal itu secara menyeluruh, dan banyak membaca al-Qur’an, shalat, berdoa dan takut.

Dan saya menjamin bahwa ketauhidannya akan murni dan Allah akan menyehatkannya. Jika ia tidak mempergunakan obat ini, maka ia telah berobat dengan penyakit, dan tenggelam dalam pendapat dan akal, bisa jadi ia akan selamat, dan bisa jadi binasa ! dan bisa jadi ia akan menderita sakit hingga wafat.

Dari Abu Darda ra, ia berkata : Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar tidak pula dirham tapi mereka mewariskan ilmu, barangsiapa mengambilnya berarti telah mengambil bagian yang banyak”.

Al-Imam Ibnu Hibban (wafat th 354 H) berkata :
Dalam hadits ini terdapat penjelasan yang jelas, bahwasanya para ulamalah yang mempunyai keutamaan, mereka mengajarkan ilmu nabi saw, bukan ilmu-ilmu lainnya (seperti ilmu filsafat).

Tidakkah anda melihat beliau bersabda : “Ulama adalah pewaris nabi dan para nabi tidak mewariskan apa-apa melainkan ilmu, dan ilmu nabi kita adalah sunnah-sunnahnya, barangsiapa tidak mengetahuinya bukan termasuk pewaris nabi”.

Dan diantara ucapan yang indah adalah :
Ilmu adalah warisan nabi, demikianlah nash menyebutkannya sedangkan para ulama adalah pewarisnya.

Nabi tidaklah meninggalkan kepada kita melainkan hadits-haditsnya, itulah harta dan perabot rumah tangga nabi.

Maraji’:
Ash-Sholah Edisi I Hal. 50.

sumber: http://salafindo.com