22 April 2008

Kemanakah mereka pergi?

Januari 2, 2008

Oleh: Abu Fatih Muhammad Harits as-Syirbuni
Bismillahirrahmanirrahim
Pada tanggal 31 Desember 2007 pukul 19.30 masih terekam jelas dalam ingatan saya suasana hangar-bingar di sekitar tempat tinggal saya sebuah kecamatan dari kabupaten kota industri di pinggiran ibu kota Jakarta,

Dentuman petasan, raungan suara knalpot motor dengan asap yang mengepul, percikan kembang api meluncur ke udara, jalanan macet, tiupan terompet adalah pemandangan dominan pada tanggal tersebut meskipun suasana malam diselimuti awan mendung.

Saat itu saya, alhamdulillah, tetap tidak merubah janji saya untuk tetap datang dalam kajian bahasa arab di tempat salah seorang guru ngaji saya. Walaupun jalanan merayap namun tak sampai membatalkan niat saya untuk bisa mencapai tempat yang saya tuju. Kebetulan tempatnya tidak terlalu jauh juga.

Sebenarnya apa yang ditampakkan saat itu adalah sesuatu yang hampir tiap tahun terjadi pada negeri ini yang konon negeri dengan penduduk mayoritas beragama islam terbesar di dunia. Sungguh angka yang sangat fantastis. Namun ada ganjalan ketidakpuasan dalam menyikapi fenomena umat saat itu ketika saya melihat begitu banyaknya mereka (kaum muslimin) yang justeru paling mendominasi pesta pergantian tahun masehi. Padahal tahun masehi bukanlah suatu tahun yang mereka yakini sebagai bagian dari waktu penentuan syiar-syiar agama kita yakni islam, seperti penentuan awal Ramadhan, masuknya Idul Fitri atau yaumu an-nahar Idul Adha, bukan sekali-kali bukan.

Mengapa mereka amat antusias dalam merayakan pergantian tahun meskipun mereka harus rela berdesak-desakan dalam kemacetan, ikhtilat (campur baur lelaki dan wanita yang bukan mahromnya), bahkan ada yang berkholwat, berkorban materi baik uang untuk membeli petasan, terompet maupun uang bensin untuk kendaraan bermotor yang mereka gunakan. Mereka rela harus begadang semalam suntuk untuk menanti detik-detik pergantian tahun. Meskipun tak jarang dari mereka yang melupakan waktu sholat mereka karena bangun kesiangan dan membuang-buang waktu produktif mereka yang seharusnya mereka gunakan untuk mendalami agama ini

Sungguh sangat ironis disaat bangsa ini begitu sering terpuruk dalam bencana yang tak kunjung sirna, di saat jeritan anak kecil meminta perlindungan dari kedinginan dan kelaparan, di saat rintihan pengemis jalanan menahan lapar, di saat seorang bapak rela menjadi maling akibat terkena imbas PHK masal, di saat sang ibu rela menjual diri di pangkuan si hidung belang demi sesuap nasi untuk anaknya, di saat pengungsi tidur di atas tikar dengan bantal-bantal lembab akibat banjir. Masihkan kita memiliki muka sebagai bangsa yang berakhlaq islam?!

Bagaimana pula perasaan orang kufar ketika menyaksikan begitu antusiasnya umat Islam dalam perayaan hari-hari mereka? Bukankah mereka akan tersenyum puas karena tidak menemui kesulitan dalam mendoktrin umat Islam agar mengikuti milah mereka (Yahudi dan Nasrani). Tidaklah mereka bersusah payah untuk memurtadkan umat Islam negeri ini namun cukup bagi mereka mengajak umat Islam ikut merayakan dan meng-iya-kan tradisi-tradisi jahiliyah mereka. Sehingga harapan kaum kuffar akan matinya hati umat Islam terhadap ketersinggungan dan kecemburuan ketika nilai-nilai Islam banyak mendapat penghinaan dan pemojokkan benar-benar akan mudah dicapai. Inilah yang mereka harapkan yaitu menjauhkan sejauh-jauhnya umat Islam dari nilai-nilai Islam walaupun hanya dalam momen satu hari saja, yakni malam pergantian tahun!

Saya mencermati pada satu sisi yang menarik pula yaitu berapa banyak uang sia-sia yang mereka bakar demi terpuaskannya hasrat nafsu duniawi mereka? Setelah mereka mencederai nilai-nilai Islam mereka.

Saya coba berhitung dengan hitungan sederhana. Di daerah tempat tinggal saya sebuah kecamatan kecil dihuni sekitar dua belas ribu kepala keluarga. Saya misalkan seperempat darinya ikut merayakan pesta tahun baru maka berarti ada sekitar tiga ribu kepala keluarga yang rela ‘berkorban’ demi tahun baru. Katakanlah setiap keluarga itu dengan tanpa paksaan mengeluarkan dari koceknya uang sebesar lima puluh ribu rupiah untuk sepaket kembang api. Maka akan didapatkan angka rupiah sebesar seratus lima puluh juta rupiah!

Satu malam mereka membakar uang sebanyak seratus lima puluh juta rupiah di satu kecamatan, bagaimana sekiranya seluruh kecamatan di negeri ini berama-ramai merayakannya juga. Bisa dibayangkan berapa miliar rupiah uang yang mereka bakar dalam satu malam? Belum lagi berita yang saya dengar dari salah satu radio swasta bahwa pemerintah DKI Jakarta sengaja mengimpor kembang api dari China untuk merayakan malam ‘kemaksiatan’ pergantian tahun ini. Ma’adzallah wa na’udzu billahi min ‘amali syaiton.

Saya ingin mengingatkan kaum muslimin di negeri ini yang kebetulan membaca tulisan saya ini akan sebuah firman Allah ta’ala:

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (QS. Al-A’raaf [7] : 96)

Janji Allah tidaklah meleset, namun apa yang kita peroleh selama ini wahai saudaraku? Bencana demi bencana dari hari ke hari, bulan ke bulan tahun ke tahun tidak sedikit pun membaik baik bencana alam maupun bencana manusia berupa kemaksiatan dan kemunafikan. Ini berarti banyak dari kita umat Islam yang mendustakan ayat-ayat Allah, sehingga Allah mengirimkan azab yang pedih ke negeri ini. Kondisi ini merupakan makna mujmal (global) akan kesalahan umat Islam negeri ini, saya katakan tidak seluruhnya umat Islam yang melakukan kesalahan namun Allah ketika menimpakan azab tidak pula pilih kasih. Maka tidak ada azab yang kebetulan.

Sedangkan makna tafsil (rinci) dari kesalahan umat ini dapat saya uraikan ke dalam beberapa sebab.

Pertama, hal yang menyangkut akidah yaitu tasyabuh atau menyerupai orang kafir dengan menisbatkan diri kepada apa-apa yang bukan datang dari Islam melainkan tradisi dan kebiasaan dari agama orang kafir dalam hal ini Yahud dan Nasrani.

Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia merupakan bagian dari kaum tersebut”. (HR. Abu Daud)

Perayaan tahun baru adalah bagian dari tradisi dan kebiasaan jahiliyah kaum kafir. Orang barat sering menggunakan momen ini sebagai simbol mordenisasi dan westernisasi. Mengikutinya adalah berarti menyerupainya dan ber-wala terhadap kesesatan mereka. Padahal kita disuruh untuk berlepas diri dari kemungkaran dan kesesatan mereka.

Kedua, menyangkut pemborosan harta dan tabdzir karena membelanjakan harta berlebihan terlebih lagi untuk sesuatu yang bertentangan dengan akidah islamiyah.

Allah ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Israa’ [17] : 27)

Sedangkan Allah ta’ala justeru memerintahkan kita untuk menggunakan harta yang kita miliki dengan sebaik-baiknya.

“Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al-Baqoroh [2] : 272)

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al-Baqoroh [2] : 195)

Ketiga, melukai perasaan saudara seiman yang sedang menderita bahkan ada yang sedang meregang nyawa di daerah bencana. Hal ini merupakan pemecah ukhuwwah islamiyyah padahal Islam sangat menganjurkan persaudaraan dibangun di atas sikap dermawan dan tolong menolong.

Allah ta’ala berfirman:

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (QS. Al-Hujuraat [49] : 10)

Dari Abu Huroiroh bahwasanya Rasulullah bersabda:

“Dan jadilah kamu sekalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim yang lain, maka tidak boleh menzhaliminya, menelantarkannya, mendustainya dan menghinakannya” (HR Muslim)

“Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutup aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu suka menolong saudaranya” . (HR. Muslim)

Tidakkah kita tersentuh untuk melepaskan kesusahan dan penderitaan saudara kita dengan uang yang setiap tahun kita bakar atau akankah kita berpaling dari firman-firman Allah dan sabda Rasul-Nya dengan serta merta mengumbar hawa nafsu duniawi kita.

Inilah potret umat Islam saat ini, mereka terlalu mencintai kehidupan dunianya dan takut kehilangan apa yang mereka miliki. Lupa terhadap apa yang wajib bagi mereka lakukan justeru terlalu menyibukkan dengan hal-hal yang dilarang oleh agama ini.

Apa yang saya khawatirkan terbukti jelas manakala suasana pagi buta merayap masuk sedikit-demi sedikit membuka tabir malam. Ketika azan subuh berkumandang beriringan dengan kabut pagi yang cukup dingin setelah semalam diguyur hujan, ternyata tak nampak di mata ini suasana semeriah malam tadi. Malam pesta pora anak manusia meskipun mereka tidak memperoleh balasan apa-apa dari Tuhan mereka. Pagi itu masjid-masjid nyaris sepi di semua tempat dari langkah kaki kaum muslimin. Sementara kaki-kaki mereka ketika malam pergantian tahun baru begitu perkasa menginjak-injak jalanan.

Di sisi lain panggilan azan subuh mereka anggap tidak lebih sebagai suatu teriakan muazin bukan sebagai panggilan ilahi dimana Allah telah menjanjikan kesempurnaan cahaya kelak di hari kiamat kepada seorang hamba yang memiliki qolbun salim yang melangkah ke masjid di pagi buta yang gelap. Di saat itu pula dua malaikat pencatat amal turun ke dunia untuk menukar catatan amal seorang hamba dan menyampaikan apa yang mereka saksikan di dunia kepada Al Malik Allah ‘Jalla wa ‘Ala. Tidakkah kita rindu dan semangat untuk hal yang demikian? Tidak cukupkah Allah memberikan balasan sedemikian hebat? Lalu kemanakah mereka pergi setelah semalam mereka ada di dunia?

. .

Tidak ada komentar: